Bab: Islam dibangun di atas lima perkara

بَابُ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ
Bab: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Islam dibangun di atas lima (perkara).”
صَحِيحُ مُسْلِمٍ - ط التُّرْكِيَّةِ - جـ ١ (ص: ٣٤)
Shahih Muslim – (cetakan) Turki – jilid 1 (hal. 34). ---
١٩ - (١٦) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ،
19 - (16) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair al-Hamdani,
حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ - يَعْنِي: سُلَيْمَانَ بْنَ حَيَّانَ الْأَحْمَرَ -،
telah menceritakan kepada kami Abu Khalid – yaitu: Sulaiman bin Hayyan al-Ahmar –,
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ،
dari Abu Malik al-Asja‘i,
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ،
dari Sa‘d bin ‘Ubaidah,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قَالَ:
beliau bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ:
“Islam dibangun di atas lima (perkara):
عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ،
(pertama) bahwa Allah di-esakan (ditauhidkan),
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
dan menegakkan shalat,
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
dan menunaikan zakat,
وَصِيَامِ رَمَضَانَ،
dan berpuasa Ramadhan,
وَالْحَجِّ».
dan (menunaikan) haji.”
فَقَالَ رَجُلٌ:
Lalu seorang laki-laki berkata:
«الْحَجِّ وَصِيَامِ رَمَضَانَ؟»
“Haji dan puasa Ramadhan (didahulukan haji lalu puasa Ramadhan)?”
قَالَ:
Beliau bersabda:
«لَا، صِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ،
“Bukan, (tetapi) puasa Ramadhan kemudian haji,
هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ».
seperti inilah aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
صَحِيحُ مُسْلِمٍ - ط التُّرْكِيَّةِ - جـ ١ (ص: ٣٤)
Shahih Muslim – (cetakan) Turki – jilid 1 (hal. 34). ---
٢٠ - (١٦) وَحَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ عُثْمَانَ الْعَسْكَرِيُّ،
20 - (16) Dan telah menceritakan kepada kami Sahl bin ‘Utsman al-‘Askari,
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّاءَ،
telah menceritakan kepada kami Yahya bin Zakariya,
حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ طَارِقٍ قَالَ:
telah menceritakan kepada kami Sa‘d bin Thariq, ia berkata:
حَدَّثَنِي سَعْدُ بْنُ عُبَيْدَةَ السُّلَمِيُّ،
Telah menceritakan kepadaku Sa‘d bin ‘Ubaidah as-Sulami,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
dari Ibnu Umar,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قَالَ:
beliau bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ:
“Islam dibangun di atas lima (perkara):
عَلَى أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَيُكْفَرَ بِمَا دُونَهُ،
(pertama) bahwa Allah semata disembah dan diingkari segala sesuatu selain-Nya,
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
dan menegakkan shalat,
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
dan menunaikan zakat,
وَحَجِّ الْبَيْتِ،
dan haji ke Baitullah,
وَصَوْمِ رَمَضَانَ».
dan puasa Ramadhan.”
صَحِيحُ مُسْلِمٍ - ط التُّرْكِيَّةِ - جـ ١ (ص: ٣٤)
Shahih Muslim – (cetakan) Turki – jilid 1 (hal. 34). ---
٢١ - (١٦) حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ،
21 - (16) Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu‘adz,
حَدَّثَنَا أَبِي،
telah menceritakan kepada kami ayahku,
حَدَّثَنَا عَاصِمٌ، وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ،
telah menceritakan kepada kami ‘Ashim – yaitu Ibn Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin ‘Umar –,
عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
dari ayahnya, ia berkata:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ:
Abdullah berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ:
“Islam dibangun di atas lima (perkara):
شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،
(pertama) persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya,
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
dan menegakkan shalat,
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
dan menunaikan zakat,
وَحَجِّ الْبَيْتِ،
dan haji ke Baitullah,
وَصَوْمِ رَمَضَانَ».
dan puasa Ramadhan.”
صَحِيحُ مُسْلِمٍ - ط التُّرْكِيَّةِ - جـ ١ (ص: ٣٤)
Shahih Muslim – (cetakan) Turki – jilid 1 (hal. 34). ---
٢٢ - (١٦) وَحَدَّثَنِي ابْنُ نُمَيْرٍ،
22 - (16) Dan telah menceritakan kepadaku Ibnu Numair,
حَدَّثَنَا أَبِي،
telah menceritakan kepada kami ayahku,
حَدَّثَنَا حَنْظَلَةُ قَالَ:
telah menceritakan kepada kami Hanzhalah, ia berkata:
سَمِعْتُ عِكْرِمَةَ بْنَ خَالِدٍ يُحَدِّثُ طَاوُسًا
Aku mendengar ‘Ikrimah bin Khalid meriwayatkan kepada Thawus,
⦗ص: ٣٥⦘
[hal.: 35]
«أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ:
bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar:
أَلَا تَغْزُو؟»
“Tidaklah engkau pergi berperang (berjihad)?”
فَقَالَ:
Maka ia (Abdullah bin Umar) berkata:
«إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
“Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْإِسْلَامَ بُنِيَ عَلَى خَمْسٍ:
Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima (perkara):
شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
(pertama) persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah,
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
dan menegakkan shalat,
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
dan menunaikan zakat,
وَصِيَامِ رَمَضَانَ،
dan berpuasa Ramadhan,
وَحَجِّ الْبَيْتِ».
dan (menunaikan) haji ke Baitullah.”
(بَابُ بَيَانِ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَدَعَائِمِهِ الْعِظَامِ)
(Bab) Penjelasan rukun‑rukun Islam dan tiang‑tiangnya yang agung.
قَالَ مُسْلِمٌ رَحِمَهُ اللَّهُ:
Imam Muslim rahimahullah berkata:
(حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ،
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numayr al‑Hamdānī,
ثَنَا أَبُو خَالِدٍ، يَعْنِي سُلَيْمَانَ بْنَ حَيَّانَ الْأَحْمَرَ،
telah menceritakan kepada kami Abu Khālid – yaitu Sulaimān bin Ḥayyān al‑Aḥmar –,
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ،
dari Abū Mālik al‑Ashja‘ī,
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ،
dari Sa‘d bin ‘Ubaydah,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا،
dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
قَالَ:
beliau bersabda:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ:
“Islam dibangun di atas lima (perkara):
عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ،
(pertama) bahwa Allah di‑esakan,
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
dan menegakkan shalat,
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
dan menunaikan zakat,
وَصِيَامِ رَمَضَانَ،
dan berpuasa Ramadhan,
وَالْحَجِّ».
dan (menunaikan) haji.”
فَقَالَ رَجُلٌ:
Lalu seorang laki‑laki berkata:
«الْحَجِّ وَصِيَامِ رَمَضَانَ؟»
“Haji dan puasa Ramadhan (didahulukan haji lalu puasa Ramadhan)?”
فَقَالَ:
Maka beliau bersabda:
«لَا، صِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ،
“Bukan, (tetapi) puasa Ramadhan kemudian haji,
هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ»
seperti inilah aku mendengarnya dari…”
شَرْحُ النَّوَوِيِّ عَلَى مُسْلِمٍ - جـ ١ (ص: ١٧٧)
Syarah an‑Nawawi atas (Shahih) Muslim – jilid 1 (hal. 177).
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ».
“…Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
وَفِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ:
Dan dalam riwayat yang kedua:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ:
“Islam dibangun di atas lima (perkara):
عَلَى أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ، وَيُكْفَرَ بِمَا دُونَهُ،
(pertama) bahwa Allah disembah dan diingkari segala sesuatu selain‑Nya,
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
dan menegakkan shalat,
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
dan menunaikan zakat,
وَحَجِّ الْبَيْتِ،
dan haji ke Baitullah,
وَصَوْمِ رَمَضَانَ».
dan puasa Ramadhan.”
وَفِي الرِّوَايَةِ الثَّالِثَةِ:
Dan dalam riwayat yang ketiga:
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ:
“Islam dibangun di atas lima (perkara):
شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
(pertama) persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah,
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،
dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan‑Nya,
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
dan menegakkan shalat,
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
dan menunaikan zakat,
وَحَجِّ الْبَيْتِ،
dan haji ke Baitullah,
وَصَوْمِ رَمَضَانَ».
dan puasa Ramadhan.”
وَفِي الرِّوَايَةِ الرَّابِعَةِ:
Dan dalam riwayat yang keempat:
«أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا:
bahwa seorang laki‑laki berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā:
أَلَا تَغْزُو؟»
“Tidakkah engkau pergi berperang (berjihad)?”
فَقَالَ:
Maka ia (‘Abdullah bin ‘Umar) berkata:
«إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
“Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْإِسْلَامَ بُنِيَ عَلَى خَمْسٍ:
Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima (perkara):
شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهَ،
(pertama) persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah,
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
dan menegakkan shalat,
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
dan menunaikan zakat,
وَصِيَامِ رَمَضَانَ،
dan berpuasa Ramadhan,
وَحَجِّ الْبَيْتِ».
dan haji ke Baitullah.”
أَمَّا الْإِسْنَادُ الْأَوَّلُ الْمَذْكُورُ هُنَا،
Adapun sanad pertama yang disebutkan di sini,
فَكُلُّهُمْ كُوفِيُّونَ،
maka seluruh perawinya adalah orang‑orang Kufah,
إِلَّا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا،
kecuali ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā,
فَإِنَّهُ مَكِّيٌّ مَدَنِيٌّ.
karena beliau adalah (asalnya) Makkah lalu Madinah.
وَأَمَّا «الْهَمْدَانِيُّ» فَبِإِسْكَانِ الْمِيمِ وَبِالدَّالِ الْمُهْمَلَةِ،
Adapun (lafaz) “al‑Hamdānī” maka huruf “mim” di-sukun-kan dan dengan huruf “dal” yang tidak bertitik,
وَضُبِطَ هَذَا لِلِاحْتِيَاطِ وَإِكْمَالِ الْإِيضَاحِ،
dan hal ini ditandai demikian demi kehati‑hatian dan penyempurnaan penjelasan,
وَإِلَّا فَهُوَ مَشْهُورٌ مَعْرُوفٌ.
kalau tidak (pun), nama ini sudah masyhur lagi dikenal.
وَأَيْضًا فَقَدْ قَدَّمْتُ فِي آخِرِ «الْفُصُولِ»
Dan juga, sungguh aku telah jelaskan di akhir “al‑Fuṣūl”
أَنَّ جَمِيعَ مَا فِي «الصَّحِيحَيْنِ» فَهُوَ «هَمْدَانِيٌّ» بِالْإِسْكَانِ وَ«الْمُهْمَلَةِ».
bahwa semua (nisbah) “al‑Hamdānī” yang ada dalam dua kitab Shahih adalah dengan mim di‑sukun‑kan dan dal tanpa titik.
وَأَمَّا «حَيَّانُ» فَبِالْمُثَنَّاةِ،
Adapun “Ḥayyān” maka dengan huruf tsa’ dua titik di atas (yaitu ya’ yang digandakan),
وَتَقَدَّمَ أَيْضًا فِي «الْفُصُولِ» بَيَانُ ضَبْطِ هَذِهِ الصُّورَةِ.
dan telah lewat pula dalam “al‑Fuṣūl” penjelasan cara pembacaan bentuk nama ini.
وَأَمَّا أَبُو مَالِكٍ الْأَشْجَعِيُّ،
Adapun Abū Mālik al‑Ashja‘ī,
فَهُوَ سَعْدُ بْنُ طَارِقٍ،
maka dia adalah Sa‘d bin Ṭāriq,
الْمُسَمَّى فِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ،
yang disebutkan namanya dalam riwayat kedua,
وَأَبُوهُ صَحَابِيٌّ.
dan ayahnya adalah seorang sahabat Nabi.
شَرْحُ النَّوَوِيِّ عَلَى مُسْلِمٍ - جـ ١ (ص: ١٧٨)
Syarah an‑Nawawi atas (Shahih) Muslim – jilid 1 (hal. 178).
وَأَمَّا ضَبْطُ أَلْفَاظِ الْمَتْنِ،
Adapun penetapan (bentuk bacaan) lafaz‑lafaz matan hadits,
فَوَقَعَ فِي «الْأُصُولِ»: «بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ» فِي الطَّرِيقِ الْأَوَّلِ وَالرَّابِعِ بِالْهَاءِ فِيهَا،
maka terdapat dalam sebagian naskah pokok lafaz: “buniyal‑Islāmu ‘alā khamsatin” (dengan ta’ marbūṭah, “khamsatin”) pada jalur pertama dan keempat,
وَفِي الثَّانِي وَالثَّالِثِ: «خَمْسٍ» بِلَا هَاءٍ،
dan dalam jalur kedua dan ketiga: “khamsin” tanpa ta’ marbūṭah,
وَفِي بَعْضِ «الْأُصُولِ» الْمُعْتَمَدَةِ فِي الرَّابِعِ بِلَا هَاءٍ،
dan pada sebagian naskah pokok yang diandalkan, dalam jalur keempat juga tanpa ta’ marbūṭah,
وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ.
dan kedua bentuk bacaan itu sama‑sama benar.
وَالْمُرَادُ بِرِوَايَةِ «الْهَاءِ»:
Yang dimaksud dengan riwayat yang memakai ta’ marbūṭah,
«خَمْسَةُ أَرْكَانٍ» أَوْ «أَشْيَاءَ» أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ،
ialah “lima rukun” atau “lima perkara” atau semacam itu,
وَبِرِوَايَةِ حَذْفِ «الْهَاءِ»:
sedangkan dengan riwayat yang menghilangkan ta’ marbūṭah,
«خَمْسُ خِصَالٍ» أَوْ «دَعَائِمَ» أَوْ «قَوَاعِدَ» أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ،
(yang dimaksud) adalah “lima sifat”, atau “lima tiang”, atau “lima kaidah”, atau semisalnya,
وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
dan Allah lebih mengetahui.
وَأَمَّا تَقْدِيمُ الْحَجِّ وَتَأْخِيرُهُ،
Adapun mendahulukan dan mengakhirkan (penyebutan) haji,
فَفِي الرِّوَايَةِ الْأُولَى وَالرَّابِعَةِ تَقْدِيمُ الصِّيَامِ،
maka dalam riwayat pertama dan keempat, puasa disebutkan lebih dulu,
وَفِي الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ تَقْدِيمُ الْحَجِّ.
sedangkan dalam riwayat kedua dan ketiga, haji yang didahulukan.
ثُمَّ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي إِنْكَارِ ابْنِ عُمَرَ عَلَى الرَّجُلِ الَّذِي قَدَّمَ الْحَجَّ،
Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang pengingkaran Ibnu ‘Umar terhadap lelaki yang mendahulukan haji,
مَعَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَوَاهُ كَذَلِكَ،
padahal Ibnu ‘Umar sendiri meriwayatkannya seperti itu (dengan mendahulukan haji),
كَمَا وَقَعَ فِي الطَّرِيقَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ.
sebagaimana terdapat dalam dua jalur riwayat yang telah disebut.
وَالْأَظْهَرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّهُ يُحْتَمَلُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتَيْنِ:
Dan yang lebih jelas – wallāhu a‘lam – adalah kemungkinan bahwa Ibnu ‘Umar mendengarnya dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dua kali:
مَرَّةً بِتَقْدِيمِ الْحَجِّ،
sekali dengan mendahulukan haji,
وَمَرَّةً بِتَقْدِيمِ الصَّوْمِ،
dan sekali dengan mendahulukan puasa,
فَرَوَاهُ أَيْضًا عَلَى الْوَجْهَيْنِ فِي وَقْتَيْنِ.
maka beliau pun meriwayatkannya dengan dua cara itu pada dua kesempatan yang berbeda.
فَلَمَّا رَدَّ عَلَيْهِ الرَّجُلُ وَقَدَّمَ الْحَجَّ،
Tatkala lelaki itu menanggapi beliau dan mendahulukan haji,
قَالَ ابْنُ عُمَرَ:
Ibnu ‘Umar berkata:
لَا تَرُدَّ عَلَى مَا لَا عِلْمَ لَكَ بِهِ،
“Jangan engkau sanggah sesuatu yang tidak engkau ketahui,
وَلَا تَعْتَرِضْ بِمَا لَا تَعْرِفُهُ،
dan jangan engkau bantah apa yang tidak engkau kenal,
وَلَا تَقْدَحْ فِيمَا لَا تَتَحَقَّقُهُ،
dan jangan engkau cela sesuatu yang belum engkau pastikan kebenarannya.
بَلْ هُوَ بِتَقْدِيمِ الصَّوْمِ،
Bahkan (lafaz hadits itu) dengan mendahulukan puasa,
هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ».
seperti inilah aku mendengarnya dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
وَلَيْسَ فِي هَذَا نَفْيٌ لِسَمَاعِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْآخَرِ.
Dan dalam penjelasan ini tidak ada penafian bahwa beliau juga pernah mendengarnya dengan susunan yang lain.
وَيُحْتَمَلُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ سَمِعَهُ مَرَّتَيْنِ بِالْوَجْهَيْنِ كَمَا ذَكَرْنَا،
Dan dimungkinkan pula bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengarnya dua kali dengan dua susunan itu sebagaimana kami sebutkan,
ثُمَّ لَمَّا رَدَّ عَلَيْهِ الرَّجُلُ نَسِيَ الْوَجْهَ الَّذِي رَدَّهُ،
kemudian ketika lelaki itu menyanggah, beliau lupa susunan mana yang sedang disanggah,
فَأَنْكَرَهُ.
maka beliau mengingkarinya (karena lupa susunan yang dimaksud).
فَهَذَانِ الِاحْتِمَالَانِ هُمَا الْمُخْتَارَانِ فِي هَذَا.
Maka dua kemungkinan inilah yang dipilih dalam masalah ini.
وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرٍو بْنُ الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى:
Dan Syaikh Abū ‘Amr Ibn aṣ‑Ṣalāḥ rahimahullāh Ta‘ālā berkata:
مُحَافَظَةُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى مَا سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Keteguhan Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā dalam menjaga apa yang ia dengar dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
وَنَهْيُهُ عَنْ عَكْسِهِ،
dan larangannya untuk membalik susunannya,
تَصْلُحُ حُجَّةً لِكَوْنِ «الْوَاوِ» تَقْتَضِي التَّرْتِيبَ،
layak dijadikan hujjah bahwa huruf “waw” (kata sambung “dan”) menuntut adanya urutan,
وَهُوَ مَذْهَبُ كَثِيرٍ مِنَ الْفُقَهَاءِ الشَّافِعِيِّينَ،
dan ini adalah pendapat banyak fuqaha dari kalangan Syafi‘iyah,
وَشُذُوذٍ مِنَ النَّحْوِيِّينَ.
dan (juga) sebagian kecil ahli nahwu.
وَمَنْ قَالَ: لَا تَقْتَضِي التَّرْتِيبَ، وَهُوَ الْمُخْتَارُ وَقَوْلُ الْجُمْهُورِ،
Sedangkan orang yang berpendapat bahwa huruf “waw” tidak menuntut urutan – dan ini yang terpilih dan merupakan pendapat jumhur –
فَلَهُ أَنْ يَقُولَ:
maka ia boleh berkata:
لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِكَوْنِهَا تَقْتَضِي التَّرْتِيبَ،
hal itu (larangan membalik susunan) bukan karena huruf “waw” menuntut urutan,
بَلْ لِأَنَّ فَرْضَ صَوْمِ رَمَضَانَ نَزَلَ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ،
tetapi karena kewajiban puasa Ramadhan turun pada tahun kedua hijriah,
وَنَزَلَتْ فَرِيضَةُ الْحَجِّ سَنَةَ سِتٍّ، وَقِيلَ: سَنَةَ تِسْعٍ بِالتَّاءِ الْمُثَنَّاةِ فَوْقُ،
sedangkan kewajiban haji turun pada tahun keenam – dan ada yang mengatakan tahun kesembilan – dengan (lafaz “tisa‘” memakai) ta’ dua titik di atas,
وَمِنْ حَقِّ الْأَوَّلِ أَنْ يُقَدَّمَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الثَّانِي،
dan yang lebih berhak untuk didahulukan dalam penyebutan adalah yang lebih dahulu diwajibkan,
فَمُحَافَظَةُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِهَذَا».
maka keteguhan Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā (dalam urutan itu) karena alasan ini.”
وَأَمَّا رِوَايَةُ تَقْدِيمِ الْحَجِّ،
Adapun riwayat yang mendahulukan haji,
فَكَأَنَّهُ وَقَعَ مِمَّنْ كَانَ يَرَى الرِّوَايَةَ بِالْمَعْنَى،
seakan‑akan hal itu terjadi dari orang yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna,
وَيَرَى أَنَّ تَأْخِيرَ الْأَوَّلِ أَوِ الْأَهَمِّ فِي الذِّكْرِ شَائِعٌ فِي اللِّسَانِ،
dan ia memandang bahwa mengakhirkan yang pertama atau yang lebih penting dalam urutan penyebutan adalah hal yang umum dalam kebiasaan bahasa,
فَتَصَرَّفَ فِيهِ بِالتَّقْدِيمِ وَالتَّأْخِيرِ لِذَلِكَ،
maka ia pun mengubah susunannya dengan mendahulukan dan mengakhirkan karena alasan tersebut,
مَعَ كَوْنِهِ لَمْ يَسْمَعْ نَهْيَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ ذَلِكَ.
padahal ia tidak pernah mendengar larangan Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā terhadap hal itu.
فَافْهَمْ ذَلِكَ،
Maka pahamilah hal ini,
فَإِنَّهُ مِنَ الْمُشْكِلِ الَّذِي لَمْ أَرَهُمْ بَيَّنُوهُ.
karena ini termasuk masalah yang rumit yang aku tidak melihat mereka menjelaskannya.”
هَذَا آخِرُ كَلَامِ الشَّيْخِ أَبِي عَمْرٍو بْنِ الصَّلَاحِ.
Inilah akhir perkataan Syaikh Abū ‘Amr Ibn aṣ‑Ṣalāḥ.
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ ضَعِيفٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dan apa yang beliau katakan ini lemah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا:
Pertama:
أَنَّ الرِّوَايَتَيْنِ قَدْ ثَبَتَتَا فِي «الصَّحِيحِ»،
bahwa dua riwayat itu telah tetap (tsabit) dalam kitab Shahih,
وَهُمَا صَحِيحَتَانِ فِي الْمَعْنَى،
dan keduanya sama‑sama sahih dari sisi makna,
لَا تَنَافِيَ بَيْنَهُمَا،
tidak ada pertentangan di antara keduanya,
كَمَا قَدَّمْنَا إِيضَاحَهُ،
sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya,
فَلَا يَجُوزُ إِبْطَالُ إِحْدَاهُمَا.
maka tidak boleh membatalkan salah satunya.
الثَّانِي:
Kedua:
أَنَّ فَتْحَ بَابِ احْتِمَالِ التَّقْدِيمِ وَالتَّأْخِيرِ فِي مِثْلِ هَذَا،
bahwa membuka pintu kemungkinan adanya perubahan urutan mendahulukan dan mengakhirkan dalam masalah semacam ini,
قَدْحٌ فِي الرُّوَاةِ وَالرِّوَايَاتِ،
merupakan celaan terhadap para perawi dan riwayat‑riwayat,
فَإِنَّهُ لَوْ فُتِحَ ذَلِكَ لَمْ يَبْقَ لَنَا
karena jika pintu itu dibuka, niscaya tidak akan tersisa bagi kita
شَرْحُ النَّوَوِيِّ عَلَى مُسْلِمٍ - جـ ١ (ص: ١٧٩)
Syarah an‑Nawawi atas (Shahih) Muslim – jilid 1 (hal. 179).
وَثِيقٌ بِشَيْءٍ مِنَ الرِّوَايَاتِ إِلَّا الْقَلِيلُ،
pegangan yang kuat terhadap riwayat‑riwayat kecuali hanya sedikit,
وَلَا يَخْفَى بُطْلَانُ هَذَا،
dan tidak tersembunyi batilnya (konsekuensi) hal ini,
وَمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مِنَ الْمَفَاسِدِ،
serta kerusakan‑kerusakan yang akan timbul darinya,
وَتَعَلُّقُ مَنْ يَتَعَلَّقُ بِهِ مِمَّنْ فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ،
dan (bahaya) orang‑orang yang hatinya berpenyakit akan bergantung (mengambil alasan) dengan hal itu,
وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
dan Allah lebih mengetahui.
ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّهُ وَقَعَ فِي رِوَايَةِ أَبِي عَوَانَةَ الْإِسْفَرَايِنِيِّ فِي كِتَابِهِ «الْمُخْرَجِ عَلَى صَحِيحِ مُسْلِمٍ» وَشَرْطِهِ،
Kemudian ketahuilah bahwa telah terdapat dalam riwayat Abī ‘Awanah al‑Isfarāyinī dalam kitabnya al‑Mukharraj ‘alā Ṣaḥīḥ Muslim – yang berpegang pada syarat (Muslim) –
عَكْسَ مَا وَقَعَ فِي مُسْلِمٍ،
kebalikan dari apa yang terdapat dalam (kitab) Muslim,
مِنْ قَوْلِ الرَّجُلِ لِابْنِ عُمَرَ قَدَّمَ الْحَجَّ،
yaitu terkait ucapan lelaki kepada Ibnu ‘Umar yang mendahulukan haji,
فَوَقَعَ فِيهِ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لِلرَّجُلِ:
di mana di dalamnya disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā berkata kepada lelaki itu:
«اجْعَلْ صِيَامَ رَمَضَانَ آخِرَهُنَّ كَمَا سَمِعْتُ مِنْ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ».
“Jadikanlah puasa Ramadhan sebagai yang terakhir di antara (penyebutan) itu, sebagaimana aku dengar dari mulut Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرٍو بْنُ الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللَّهُ:
Syaikh Abū ‘Amr Ibn aṣ‑Ṣalāḥ rahimahullāh berkata:
لَا يُقَاوِمُ هَذِهِ الرِّوَايَةَ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Riwayat ini tidak dapat menandingi apa yang diriwayatkan oleh Muslim.”
قُلْتُ:
Aku (an‑Nawawi) berkata:
وَهَذَا مُحْتَمَلٌ أَيْضًا صِحَّتُهُ،
hal ini juga mungkin saja sahih,
وَيَكُونُ قَدْ جَرَتِ الْقَضِيَّةُ مَرَّتَيْنِ لِرَجُلَيْنِ،
dan boleh jadi peristiwa ini terjadi dua kali kepada dua orang lelaki yang berbeda,
وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
dan Allah lebih mengetahui.
وَأَمَّا اقْتِصَارُهُ فِي الرِّوَايَةِ الرَّابِعَةِ عَلَى إِحْدَى الشَّهَادَتَيْنِ،
Adapun terbatasnya penyebutan pada riwayat keempat hanya pada satu dari dua kalimat syahadat,
فَهُوَ إِمَّا تَقْصِيرٌ مِنَ الرَّاوِي فِي حَذْفِ الشَّهَادَةِ الْأُخْرَى،
maka itu bisa jadi karena kekurangan dari perawi yang menghilangkan satu syahadat lainnya,
الَّتِي أَثْبَتَهَا غَيْرُهُ مِنَ الْحُفَّاظِ،
yang telah ditegaskan oleh para huffāzh (penghafal hadits) yang lain,
وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ وَقَعَتِ الرِّوَايَةُ مِنْ أَصْلِهَا هَكَذَا،
atau mungkin memang riwayat itu sejak asalnya datang dengan susunan seperti ini,
وَيَكُونَ مِنَ الْحَذْفِ لِلِاكْتِفَاءِ بِأَحَدِ الْقَرِينَتَيْنِ،
dan ini termasuk penghilangan (salah satu bagian) karena sudah cukup dengan salah satu dari dua indikator,
وَدَلَالَتِهِ عَلَى الْآخَرِ الْمَحْذُوفِ،
yang menunjukkan (secara pasti) pada bagian lain yang dihilangkan,
وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
dan Allah lebih mengetahui.
وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ»،
Adapun sabda beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam: “ ‘alā an yuwahhada Allāh”,
هُوَ بِضَمِّ الْيَاءِ الْمُثَنَّاةِ مِنْ تَحْتُ،
(“yuwahhada”) dibaca dengan ya’ berharakat ḍammah,
وَفَتْحِ الْحَاءِ،
dan ha’ berharakat fathah,
مَبْنِيٌّ لِمَا لَمْ يُسَمَّ فَاعِلُهُ.
dengan bentuk fi‘l mabnī lil‑majhūl (bentuk pasif: “didi‑esakan”).
أَمَّا اسْمُ الرَّجُلِ الَّذِي رَدَّ عَلَيْهِ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا تَقْدِيمَ الْحَجِّ،
Adapun nama lelaki yang disanggah oleh Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā dalam masalah mendahulukan haji,
فَهُوَ يَزِيدُ بْنُ بِشْرٍ السَّكْسَكِيُّ،
maka dia adalah Yazīd bin Bishr as‑Saksakī,
ذَكَرَهُ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْخَطِيبُ الْبَغْدَادِيُّ فِي كِتَابِهِ «الْأَسْمَاءِ الْمُبْهَمَةِ».
yang disebutkan oleh al‑Hāfiẓ Abū Bakr al‑Khaṭīb al‑Baghdādī dalam kitabnya al‑Asmā’ al‑Mubhamah.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: «أَلَا تَغْزُو»،
Adapun ucapannya: “Alā taghzū”,
فَهُوَ بِالتَّاءِ الْمُثَنَّاةِ مِنْ فَوْقُ لِلْخِطَابِ،
maka ia memakai ta’ dua titik di atas (tā’ mu’annats sughrā) untuk bentuk khithab (menyapa “engkau”: “taghzū”),
وَيَجُوزُ أَنْ يُكْتَبَ «تَغْزُوا» بِالْأَلِفِ وَبِحَذْفِهَا.
dan boleh ditulis “taghzūā” dengan alif (di akhir) atau tanpa alif.
فَالْأَوَّلُ قَوْلُ الْكُتَّابِ الْمُتَقَدِّمِينَ،
Bentuk pertama adalah pendapat para penulis terdahulu,
وَالثَّانِي قَوْلُ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ، وَهُوَ الْأَصَحُّ.
sedangkan bentuk kedua adalah pendapat sebagian ulama belakangan, dan itulah yang lebih sahih,
حَكَاهُمَا ابْنُ قُتَيْبَةَ فِي «أَدَبِ الْكَاتِبِ».
keduanya dinukil oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Adab al‑Kātib.
وَأَمَّا جَوَابُ ابْنِ عُمَرَ لَهُ بِحَدِيثِ: «بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ»،
Adapun jawaban Ibnu ‘Umar kepadanya dengan hadits: “Islam dibangun di atas lima perkara”,
فَالظَّاهِرُ أَنَّ مَعْنَاهُ:
maka yang tampak, maknanya adalah:
لَيْسَ الْغَزْوُ بِلازِمٍ عَلَى الْأَعْيَانِ،
bahwa jihad (perang) tidak wajib secara pasti atas setiap individu,
فَإِنَّ الْإِسْلَامَ بُنِيَ عَلَى خَمْسٍ لَيْسَ الْغَزْوُ مِنْهَا،
karena Islam dibangun di atas lima perkara, dan jihad bukan termasuk di dalamnya,
وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
dan Allah lebih mengetahui.
ثُمَّ إِنَّ هَذَا الْحَدِيثَ أَصْلٌ عَظِيمٌ فِي مَعْرِفَةِ الدِّينِ،
Kemudian sesungguhnya hadits ini adalah pokok yang agung dalam mengenal agama,
وَعَلَيْهِ اعْتِمَادُهُ،
dan di atasnyalah agama ini bertumpu,
وَقَدْ جَمَعَ أَرْكَانَهُ،
dan hadits ini telah mengumpulkan seluruh rukun‑rukunnya,
وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
dan Allah lebih mengetahui.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjelasan Iman, Islam, dan Ihsan #1

Penjelasan Iman, Islam dan Ihsan #2

Bab Pengetahuan tentang Iman, Islam, Takdir, dan Tanda-tanda Kiamat