Bab penjelasan tentang shalat-shalat yang merupakan salah satu rukun Islam.
بَابُ بَيَانِ الصَّلَوَاتِ الَّتِي هِيَ أَحَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ.
Bab penjelasan tentang shalat-shalat yang merupakan salah satu rukun Islam.8 - (11) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيُّ ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ، عَنْ أَبِي سُهَيْلٍ ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللهِ يَقُولُ:
8 - (11) Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin Abdillah Ats-Tsaqafi, dari Malik bin Anas mengenai apa yang dibacakan kepadanya, dari Abu Suhail, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Thalhah bin 'Ubaidillah berkata:« جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرُ الرَّأْسِ نَسْمَعُ دَوِيَّ صَوْتِهِ، وَلَا نَفْقَهُ مَا يَقُولُ، حَتَّى دَنَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الْإِسْلَامِ،
"Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari penduduk Nejed dengan rambut kusut masai, kami mendengar gema suaranya namun kami tidak memahami apa yang ia ucapkan, hingga ia mendekat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata ia bertanya tentang Islam.فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ،
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: '(Kewajiban itu adalah) lima waktu shalat dalam sehari semalam'.فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ؟ قَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ،
Ia bertanya: 'Apakah ada kewajiban lain atasku selain itu?' Beliau menjawab: 'Tidak ada, kecuali jika engkau ingin melakukan shalat sunnah'.وَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ فَقَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ،
Dan (kewajiban) puasa bulan Ramadhan. Ia bertanya: 'Apakah ada kewajiban lain atasku selain itu?' Beliau menjawab: 'Tidak ada, kecuali jika engkau ingin melakukan puasa sunnah'.وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الزَّكَاةَ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ،
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya. Ia bertanya: 'Apakah ada kewajiban lain atasku selain itu?' Beliau menjawab: 'Tidak ada, kecuali jika engkau ingin bersedekah sunnah'.قَالَ: فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ: وَاللهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا، وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ،
Perawi berkata: Kemudian laki-laki itu berlalu pergi seraya berkata: 'Demi Allah, aku tidak akan menambahkan dari hal ini dan tidak akan menguranginya'.فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ .»
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Beruntunglah ia jika ia benar (jujur)'."9 - (11) حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ جَمِيعًا، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ ، عَنْ أَبِي سُهَيْلٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِهَذَا الْحَدِيثِ نَحْوَ حَدِيثِ مَالِكٍ،
9 - (11) Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Ayyub, dan Qutaibah bin Sa'id, keduanya dari Isma'il bin Ja'far, dari Abu Suhail, dari ayahnya, dari Thalhah bin 'Ubaidillah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan hadits ini, semisal dengan hadits Malik.غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: « أَفْلَحَ وَأَبِيهِ إِنْ صَدَقَ، أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَأَبِيهِ إِنْ صَدَقَ ».
Hanya saja ia (perawi) berkata: Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Beruntunglah ia —demi ayahnya— jika ia benar, atau ia masuk surga —demi ayahnya— jika ia benar."(بَاب بَيَانِ الصَّلَوَاتِ الَّتِي هِيَ أَحَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ فِيهِ قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّقَفِيُّ)
(Bab Penjelasan tentang shalat-shalat yang merupakan salah satu rukun Islam. Di dalamnya terdapat perawi bernama Qutaibah bin Sa'id Ats-Tsaqafi).اخْتُلِفَ فِيهِ فَقِيلَ قُتَيْبَةُ اسْمُهُ وَقِيلَ بَلْ هُوَ لَقَبٌ وَاسْمُهُ عَلِيٌّ قَالَهُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مَنْدَهْ
Terdapat perbedaan pendapat mengenainya; dikatakan bahwa Qutaibah adalah namanya, namun dikatakan juga bahwa itu hanyalah julukan sedangkan namanya adalah Ali, hal ini dikatakan oleh Abu Abdillah bin Mandah.وَقِيلَ اسْمُهُ يحيى قاله بن عَدِيٍّ
Dikatakan pula namanya adalah Yahya, hal ini dikatakan oleh Ibnu 'Adi.وَأَمَّا قَوْلُهُ الثَّقَفِيُّ فَهُوَ مَوْلَاهُمْ قِيلَ إِنَّ جَدَّهُ جَمِيلًا كَانَ مَوْلًى لِلْحَجَّاجِ بْنِ يُوسُفَ الثَّقَفِيِّ
Adapun sebutan *Ats-Tsaqafi*, itu karena ia adalah bekas budak (mawla) mereka; dikatakan bahwa kakeknya yang bernama Jamil adalah bekas budak Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi.وَفِيهِ أَبُو سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ اسْمُ أَبِي سُهَيْلٍ نَافِعُ بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ الْأَصْبَحِيُّ
Di dalam sanadnya terdapat Abu Suhail dari ayahnya; nama Abu Suhail adalah Nafi' bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahi.وَنَافِعٌ عَمُّ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ الْإِمَامِ وَهُوَ تَابِعِيٌّ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
Nafi' adalah paman dari Imam Malik bin Anas, dan dia adalah seorang Tabi'in yang pernah mendengar (hadis) dari Anas bin Malik.قَوْلُهُ (رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرُ الرَّأْسِ) هُوَ بِرَفْعِ ثَائِرٍ صِفَةٌ لِرَجُلٍ وَقِيلَ يَجُوزُ نَصْبُهُ عَلَى الْحَالِ
Sabda beliau *(Seorang laki-laki dari penduduk Nejed yang rambutnya kusut/berdiri)*: kata *tsa'iru* dibaca *rafa'* (dhommah) sebagai sifat (kata sifat) bagi kata *rajulun* (seorang laki-laki), dan dikatakan boleh juga dibaca *nashab* (fathah) sebagai *hal* (keterangan keadaan).وَمَعْنَى ثَائِرَ الرَّأْسِ قَائِمٌ شَعْرُهُ مُنْتَفِشُهُ
Makna *tsa'irur ra'si* adalah rambutnya berdiri dan acak-acakan (kusut).وَقَوْلُهُ (نَسْمَعُ دَوِيَّ صَوْتِهِ وَلَا نَفْقَهُ مَا يَقُولُ) رُوِيَ نَسْمَعُ وَنَفْقَهُ بِالنُّونِ الْمَفْتُوحَةِ فِيهِمَا
Sabda beliau *(Kami mendengar gema suaranya namun kami tidak memahami apa yang ia ucapkan)*: Diriwayatkan kata *nasma'u* dan *nafqahu* dengan huruf *Nun* yang difathahkan pada keduanya.وَرُوِيَ بِالْيَاءِ الْمُثَنَّاةِ مِنْ تَحْتُ الْمَضْمُومَةِ فِيهِمَا وَالْأَوَّلُ هُوَ الْأَشْهَرُ الْأَكْثَرُ الْأَعْرَفُ
Diriwayatkan juga dengan huruf *Ya* (titik dua di bawah) yang didhommahkan pada keduanya (dibaca: *yusma'u* dan *yufqahu*), namun riwayat pertamalah yang lebih masyhur, lebih banyak, dan lebih dikenal.وَأَمَّا دَوِيَّ صَوْتِهِ فَهُوَ بُعْدُهُ فِي الْهَوَاءِ وَمَعْنَاهُ شِدَّةُ صَوْتٍ لَا يُفْهَمُ
Adapun *dawiyya shautihi* (gema suaranya) adalah gaung suaranya di udara, maknanya adalah suara keras yang tidak bisa dipahami.وَهُوَ بِفَتْحِ الدَّالِ وَكَسْرِ الْوَاوِ وَتَشْدِيدِ الْيَاءِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ
Kata itu dibaca dengan memfathahkan *Dal*, mengkasrahkan *Wau*, dan mentasydidkan *Ya*; inilah bacaan yang masyhur.وَحَكَى صَاحِبُ الْمَطَالِعِ فِيهِ ضَمَّ الدَّالِ أَيْضًا
Penulis kitab *Al-Mathali'* menghikayatkan bolehnya membaca dengan mendhommahkan huruf *Dal* juga.قَوْلُهُ (هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ) الْمَشْهُورُ فِيهِ تَطَّوَّعَ بِتَشْدِيدِ الطَّاءِ عَلَى إِدْغَامِ إِحْدَى التَّاءَيْنِ فِي الطَّاءِ
Sabda beliau *(Apakah ada kewajiban lain atasku selain itu? Beliau menjawab: Tidak ada, kecuali engkau ingin bersunnah)*: Yang masyhur pada kata *tathawwa'a* adalah dengan mentasydidkan huruf *Tha* karena mengidghamkan (meleburkan) salah satu dari dua huruf *Ta* ke dalam huruf *Tha*.وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بْنُ الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى هُوَ مُحْتَمِلٌ لِلتَّشْدِيدِ وَالتَّخْفِيفِ عَلَى الْحَذْفِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ
Syaikh Abu Amr bin Ash-Shalah *rahimahullah ta'ala* berkata: Kata itu mengandung kemungkinan dibaca tasydid maupun *takhfif* (ringan/tanpa tasydid) dengan membuang (salah satu hurufnya). Sahabat-sahabat kami (ulama Syafi'iyah) dan ulama lainnya berkata:قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ اسْتِثْنَاءٌ مُنْقَطِعٌ وَمَعْنَاهُ لَكِنْ يُسْتَحَبُّ لَكَ أَنْ تَطَّوَّعَ
Sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam* "kecuali engkau ingin bersunnah (*tathawwa'*)" adalah *istitsna' munqathi'* (pengecualian yang terputus/tidak sejenis), maknanya adalah: "Akan tetapi disunnahkan (dianjurkan) bagimu untuk melakukan tatawu'."وَجَعَلَهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ اسْتِثْنَاءً مُتَّصِلًا واستدلوا به على أن مَنْ شَرَعَ فِي صَلَاةِ نَفْلٍ أَوْ صَوْمِ نَفْلٍ وَجَبَ عَلَيْهِ إِتْمَامُهُ
Sebagian ulama menjadikannya sebagai *istitsna' muttashil* (pengecualian bersambung), dan mereka berdalil dengannya bahwa barangsiapa yang telah memulai shalat sunnah atau puasa sunnah, maka wajib baginya untuk menyempurnakannya.وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الْإِتْمَامُ وَلَا يَجِبُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Sedangkan mazhab kami (Syafi'i) berpendapat bahwa menyempurnakannya itu hukumnya sunnah (dianjurkan) dan tidak wajib. *Wallahu a'lam*.قَوْلُهُ (فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ)
Sabda beliau *(Kemudian orang itu berlalu seraya berkata: "Demi Allah aku tidak akan menambah dari ini dan tidak akan menguranginya," maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ia beruntung jika ia benar")*:قِيلَ هَذَا الْفَلَاحُ رَاجِعٌ إِلَى قَوْلِهُ لَا أَنْقُصُ خاصة والا ظهر أَنَّهُ عَائِدٌ إِلَى الْمَجْمُوعِ
Dikatakan bahwa keberuntungan (*al-falah*) ini merujuk khusus pada ucapannya "aku tidak akan mengurangi", namun yang lebih jelas adalah bahwa itu merujuk pada keseluruhan ucapannya.بِمَعْنَى أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَزِدْ وَلَمْ يَنْقُصْ كَانَ مُفْلِحًا لِأَنَّهُ أَتَى بِمَا عَلَيْهِ وَمَنْ أَتَى بِمَا عَلَيْهِ فَهُوَ مُفْلِحٌ
Maknanya, jika ia tidak menambah dan tidak mengurangi, ia tetap beruntung karena ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, dan barangsiapa menunaikan kewajibannya maka ia adalah orang yang beruntung.وَلَيْسَ فِي هَذَا أَنَّهُ إِذَا أَتَى بِزَائِدٍ لَا يَكُونُ مُفْلِحًا لِأَنَّ هَذَا مِمَّا يُعْرَفُ بِالضَّرُورَةِ
Hal ini tidak berarti bahwa jika ia melakukan tambahan (amalan sunnah) ia tidak menjadi beruntung, karena hal ini (bahwa menambah amal itu baik) adalah sesuatu yang diketahui secara pasti (*dharuri*).فَإِنَّهُ إِذَا أَفْلَحَ بِالْوَاجِبِ فَلَأَنْ يُفْلِحَ بِالْوَاجِبِ وَالْمَنْدُوبِ أَوْلَى
Karena jika dengan melakukan yang wajib saja ia beruntung, maka tentu dengan melakukan yang wajib dan yang sunnah (*mandub*) ia lebih utama untuk beruntung.فَإِنْ قِيلَ كَيْفَ قَالَ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَيْسَ فى هذا الحديث جميع الواجبات ولا االمنهيات الشَّرْعِيَّةِ وَلَا السُّنَنِ الْمَنْدُوبَاتِ
Jika ditanyakan: "Bagaimana ia berkata 'aku tidak akan menambah atas ini', padahal dalam hadis ini tidak disebutkan seluruh kewajiban, tidak pula larangan-larangan syariat, dan tidak pula sunnah-sunnah yang dianjurkan?"فَالْجَوَابُ أَنَّهُ جَاءَ فِي رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ فِي آخِرِ هَذَا الْحَدِيثِ زِيَادَةٌ تُوَضِّحُ الْمَقْصُودَ
Maka jawabannya adalah: Telah datang dalam riwayat Al-Bukhari di akhir hadis ini tambahan yang menjelaskan maksudnya.قَالَ فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِشَرَائِعِ الْإِسْلَامِ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ وَلَا أَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيَّ شَيْئًا
Perawi berkata: Maka Rasulullah *shallallahu 'alaihi wa sallam* memberitahunya tentang syariat-syariat Islam, lalu orang itu berlalu seraya berkata: "Demi Allah aku tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi sedikitpun dari apa yang Allah Ta'ala wajibkan atasku."فَعَلَى عُمُومِ قَوْلِهِ بِشَرَائِعِ الْإِسْلَامِ وَقَوْلِهِ مِمَّا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ يَزُولُ الْإِشْكَالُ فِي الْفَرَائِضِ
Maka berdasarkan keumuman ucapannya "syariat-syariat Islam" dan ucapannya "dari apa yang Allah wajibkan atasku", hilanglah kemusykilan (kebingungan) mengenai kewajiban-kewajiban (fardhu).وَأَمَّا النَّوَافِلُ فَقِيلَ يُحْتَمَلُ أَنَّ هَذَا كَانَ قَبْلَ شَرْعِهَا
Adapun mengenai amalan sunnah (*nawafil*), dikatakan: kemungkinan ini terjadi sebelum disyariatkannya amalan sunnah.وَقِيلَ يُحْتَمَلُ أَنَّهُ أَرَادَ لَا أَزِيدُ فِي الْفَرْضِ بِتَغْيِيرِ صِفَتِهِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لَا أُصَلِّي الظُّهْرَ خَمْسًا وَهَذَا تَأْوِيلٌ ضَعِيفٌ
Dikatakan pula: kemungkinan ia bermaksud "aku tidak akan menambah dalam hal wajib dengan mengubah sifatnya", seolah-olah ia berkata "aku tidak akan shalat Zuhur lima rakaat", namun ini adalah takwil yang lemah.وَيُحْتَمَلُ أَنَّهُ أَرَادَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي النَّافِلَةَ مَعَ أَنَّهُ لَا يُخِلُّ بِشَيْءٍ مِنَ الْفَرَائِضِ وَهَذَا مُفْلِحٌ بِلَا شَكٍّ
Dan kemungkinan (yang kuat) ia bermaksud bahwa ia tidak akan mengerjakan shalat sunnah, namun ia juga tidak akan melalaikan sedikitpun dari kewajiban-kewajiban; orang seperti ini adalah orang yang beruntung tanpa keraguan.وَإِنْ كَانَتْ مُوَاظَبَتُهُ عَلَى تَرْكِ السُّنَنِ مَذْمُومَةٌ وَتُرَدُّ بِهَا الشَّهَادَةُ إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ بِعَاصٍ بَلْ هُوَ مُفْلِحٌ نَاجٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Meskipun kebiasaannya meninggalkan sunnah secara terus-menerus itu tercela dan karenanya kesaksiannya bisa ditolak, akan tetapi ia bukanlah pelaku maksiat, bahkan ia adalah orang yang beruntung dan selamat. *Wallahu a'lam*.وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَأْتِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ ذِكْرُ الْحَجِّ وَلَا جَاءَ ذِكْرُهُ فِي حَدِيثِ جِبْرِيلَ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ
Ketahuilah bahwa dalam hadis ini tidak disebutkan tentang haji, dan tidak pula disebutkan dalam hadis Jibril dari riwayat Abu Hurairah.وَكَذَا غَيْرُ هَذَا مِنْ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ لَمْ يُذْكَرْ فِي بَعْضِهَا الصَّوْمُ وَلَمْ يُذْكَرُ فِي بَعْضِهَا الزَّكَاةُ
Demikian pula dalam hadis-hadis lain selain ini; dalam sebagiannya tidak disebutkan puasa, dalam sebagian lainnya tidak disebutkan zakat.وَذُكِرَ فِي بَعْضِهَا صِلَةُ الرَّحِمِ وَفِي بَعْضِهَا أَدَاءُ الْخُمُسِ وَلَمْ يَقَعْ فِي بَعْضِهَا ذِكْرُ الْإِيمَانِ
Dalam sebagian riwayat disebutkan silaturahmi, dalam sebagian lainnya disebutkan menunaikan *khumus* (seperlima harta rampasan perang), dan dalam sebagian lainnya tidak disebutkan tentang iman.فَتَفَاوَتَتْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ فِي عَدَدِ خِصَالِ الْإِيمَانِ زِيَادَةً وَنَقْصًا وَإِثْبَاتًا وَحَذْفًا
Maka hadis-hadis ini berbeda-beda dalam jumlah cabang-cabang iman, baik dalam penambahan, pengurangan, penetapan, maupun penghapusan.وَقَدْ أَجَابَ الْقَاضِي عِيَاضٌ وَغَيْرُهُ رحمهم الله عَنْهَا بِجَوَابٍ لَخَّصَهُ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بْنُ الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَهَذَّبَهُ فَقَالَ
Al-Qadhi Iyadh dan selainnya *rahimahumullah* telah menjawab hal tersebut dengan jawaban yang diringkas dan dirapikan oleh Syaikh Abu Amr bin Ash-Shalah *rahimahullah ta'ala*, beliau berkata:لَيْسَ هَذَا بِاخْتِلَافٍ صَادِرٍ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَلْ هُوَ مِنْ تَفَاوُتِ الرُّوَاةِ فِي الْحِفْظِ وَالضَّبْطِ
"Ini bukanlah perbedaan yang bersumber dari Rasulullah *shallallahu 'alaihi wa sallam*, melainkan akibat perbedaan para perawi dalam hafalan dan ketelitian (*dhabth*)."فَمِنْهُمْ مَنْ قَصَّرَ فَاقْتَصَرَ عَلَى مَا حَفِظَهُ فَأَدَّاهُ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِمَا زَادَهُ غَيْرُهُ بنفى ولا اثبات
"Di antara mereka ada yang kurang (hafalannya) sehingga ia mencukupkan pada apa yang ia hafal lalu menyampaikannya, dan ia tidak menyinggung apa yang ditambahkan oleh orang lain, baik dengan penafian maupun penetapan."وان كَانَ اقْتِصَارُهُ عَلَى ذَلِكَ يُشْعِرُ بِأَنَّهُ الْكُلُّ فَقَدْ بَانَ بِمَا أَتَى بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الثِّقَاتِ أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِالْكُلِّ
"Meskipun pencukupannya pada hal tersebut memberi kesan bahwa itulah keseluruhannya, namun telah jelas dengan apa yang dibawa oleh perawi *tsiqah* (terpercaya) lainnya bahwa itu bukanlah keseluruhannya."وَأَنَّ اقْتِصَارَهُ عَلَيْهِ كَانَ لِقُصُورِ حِفْظِهِ عَنْ تَمَامِهِ
"Dan bahwasanya pencukupannya pada hal tersebut adalah karena keterbatasan hafalannya terhadap kesempurnaan hadis itu."أَلَا تَرَى حَدِيثَ النُّعْمَانِ بْنِ قَوْقَلٍ الْآتِي قَرِيبًا اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَاتُ فِي خِصَالِهِ بِالزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ
"Tidakkah engkau melihat hadis Nu'man bin Qauqal yang akan datang sebentar lagi? Riwayat-riwayat berbeda mengenai butir-butirnya dengan penambahan dan pengurangan."مَعَ أَنَّ رَاوِيَ الْجَمِيعِ رَاوٍ وَاحِدٍ وَهُوَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما فِي قَضِيَّةٍ وَاحِدَةٍ
"Padahal perawi semua itu adalah satu orang, yaitu Jabir bin Abdullah *radhiyallahu 'anhuma*, dalam satu peristiwa yang sama."ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ لَا يَمْنَعُ مِنْ إِيرَادِ الْجَمِيعِ فِي الصَّحِيحِ لِمَا عُرِفَ فِي مَسْأَلَةِ زِيَادَةِ الثِّقَةِ مِنْ أَنَّا نَقْبَلُهَا
"Kemudian, hal itu tidak menghalangi pencantuman semuanya dalam kitab Shahih, karena apa yang telah diketahui dalam masalah 'Ziyadatus Tsiqah' (tambahan dari perawi terpercaya) bahwa kita menerimanya."هَذَا آخِرُ كَلَامِ الشَّيْخِ وَهُوَ تَقْرِيرٌ حَسَنٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Inilah akhir perkataan Syaikh (Ibnu Shalah), dan ini adalah penetapan yang bagus. *Wallahu a'lam*.قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (أَفْلَحَ وَأَبِيهِ إِنْ صَدَقَ) هَذَا مِمَّا جَرَتْ عَادَتُهُمْ أَنْ يَسْأَلُوا عَنِ الْجَوَابِ عَنْهُ
Sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam* *(Beruntunglah dia —demi ayahnya— jika dia benar)*: Ini termasuk hal yang biasa ditanyakan jawabannya oleh mereka (para ulama).مَعَ قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ وَقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ
(Mengingat hal ini bertentangan) dengan sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam*: "Barangsiapa yang bersumpah, hendaklah ia bersumpah demi Allah," dan sabda beliau: "Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah demi bapak-bapak kalian."وَجَوَابُهُ أَنَّ قَوْلَهُ صلى الله عليه وسلم أَفْلَحَ وَأَبِيهِ لَيْسَ هُوَ حَلِفًا
Jawabannya adalah bahwa sabda beliau *shallallahu 'alaihi wa sallam* "Beruntunglah ia, demi ayahnya" bukanlah sebuah sumpah.إِنَّمَا هُوَ كَلِمَةٌ جَرَتْ عَادَةُ الْعَرَبِ أَنْ تُدْخِلَهَا فِي كَلَامِهَا غَيْرَ قَاصِدَةٍ بِهَا حَقِيقَةَ الْحَلِفِ
Itu hanyalah kata-kata yang sudah menjadi kebiasaan orang Arab untuk menyisipkannya dalam pembicaraan mereka tanpa bermaksud melakukan sumpah yang sesungguhnya.وَالنَّهْيُ إِنَّمَا وَرَدَ فِيمَنْ قَصَدَ حَقِيقَةَ الْحَلِفِ لِمَا فِيهِ مِنْ إِعْظَامِ الْمَحْلُوفِ بِهِ وَمُضَاهَاتِهِ بِهِ اللَّهَ سبحانه وتعالى
Larangan (bersumpah selain nama Allah) itu hanya berlaku bagi orang yang bermaksud melakukan sumpah yang sesungguhnya, karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap objek sumpah dan menyetarakannya dengan Allah *Subhanahu wa Ta'ala*.فَهَذَا هُوَ الْجَوَابُ الْمُرْضِي وَقِيلَ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ هَذَا قَبْلَ النَّهْيِ عَنِ الْحَلِفِ بِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Maka inilah jawaban yang memuaskan. Dikatakan pula: ada kemungkinan hal ini terjadi sebelum adanya larangan bersumpah dengan selain Allah Ta'ala. *Wallahu a'lam*.وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ الصَّلَاةَ الَّتِي هِيَ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ الَّتِي أُطْلِقَتْ فِي بَاقِي الْأَحَادِيثِ هِيَ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ
Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa shalat yang merupakan salah satu rukun Islam yang disebutkan secara mutlak dalam hadis-hadis lainnya adalah shalat lima waktu.وَأَنَّهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ بِهَا
Dan bahwasanya shalat itu (wajib) setiap sehari semalam atas setiap *mukallaf* (orang yang terbebani hukum syariat).وَقَوْلُنَا بِهَا احْتِرَازٌ مِنَ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فَإِنَّهَا مُكَلَّفَةٌ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِ إِلَّا الصَّلَاةَ وَمَا أُلْحِقَ بِهَا مِمَّا هُوَ مُقَرَّرٌ فِي كُتُبِ الْفِقْهِ
Ucapan kami "atas setiap mukallaf" adalah pengecualian untuk wanita haid dan nifas, karena mereka dibebani hukum syariat kecuali shalat dan hal-hal yang diikutkan dengannya sebagaimana ditetapkan dalam kitab-kitab fikih.وَفِيهِ أَنَّ وُجُوبَ صَلَاةِ اللَّيْلِ مَنْسُوخٌ فِي حَقِّ الْأُمَّةِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ
Di dalamnya juga terdapat dalil bahwa kewajiban shalat malam telah dihapus (*mansukh*) bagi umat ini, dan ini adalah hal yang disepakati (*ijma'*).وَاخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ رحمه الله فِي نَسْخِهِ فِي حَقِّ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْأَصَحُّ نَسْخُهُ
Namun terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi'i *rahimahullah* mengenai penghapusannya bagi Rasulullah *shallallahu 'alaihi wa sallam*, dan pendapat yang paling shahih adalah bahwa itu juga telah dihapus (bagi beliau).وَفِيهِ أَنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ وَأَنَّ صَلَاةَ الْعِيدِ أَيْضًا لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ وَهَذَا مَذْهَبُ الْجَمَاهِيرِ
Di dalamnya terdapat dalil bahwa shalat witir tidaklah wajib, dan shalat Id juga tidak wajib; ini adalah mazhab mayoritas ulama.وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ رحمه الله وَطَائِفَةٌ إِلَى وُجُوبِ الْوِتْرِ
Sedangkan Abu Hanifah *rahimahullah* dan sekelompok ulama berpendapat akan wajibnya witir.وَذَهَبَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ صَلَاةَ الْعِيدِ فَرْضُ كِفَايَةٍ
Dan Abu Sa'id Al-Isthakri dari kalangan ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa shalat Id adalah fardhu kifayah.وَفِيهِ أَنَّهُ لَا يَجِبُ صَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَا غَيْرِهِ سِوَى رَمَضَانَ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ
Di dalamnya juga terdapat dalil bahwa tidak wajib puasa Asyura dan tidak pula puasa lainnya selain Ramadhan, dan ini adalah hal yang disepakati.وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ هَلْ كَانَ صَوْمُ عَاشُورَاءَ وَاجِبًا قَبْلَ إِيجَابِ رَمَضَانَ أَمْ كَانَ الْأَمْرُ بِهِ نَدْبًا
Para ulama berbeda pendapat apakah puasa Asyura itu wajib sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan ataukah perintahnya hanya bersifat sunnah (*nadb*)?وَهُمَا وَجْهَانِ لِأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ أَظْهَرُهُمَا لَمْ يَكُنْ وَاجِبًا
Ada dua pandangan di kalangan ulama Syafi'iyah; pendapat yang lebih kuat (*azhhar*) adalah bahwa itu tidak wajib.وَالثَّانِي كَانَ وَاجِبًا وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رحمه الله
Pendapat kedua menyatakan bahwa itu dulunya wajib, dan inilah yang dipegang oleh Abu Hanifah *rahimahullah*.وَفِيهِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ عَلَى مَنْ مَلَكَ نِصَابًا وَفِيهِ غَيْرُ ذَلِكَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan di dalam hadis ini terdapat dalil bahwa tidak ada hak (kewajiban) pada harta selain zakat bagi orang yang memiliki satu nishab, dan terdapat pelajaran lain selain itu. *Wallahu a'lam*.
Komentar
Posting Komentar