Penjelasan Bab Perintah Beriman kepada Allah Ta'ālā dan Rasul-Nya #2

قَوْلُهُ (فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ تَسْأَلهُ عَنْ نَبِيذِ الْجَرِّ)
Ucapannya: (Maka datanglah seorang wanita kepadanya menanyakan tentang nabiz [air rendaman] dalam al-jarr).
أَمَّا الْجَرُّ فَبِفَتْحِ الْجِيمِ وَهُوَ اسْمُ جَمْعٍ الْوَاحِدَةُ جَرَّةٌ وَيُجْمَعُ أَيْضًا عَلَى جِرَارٍ وَهُوَ هَذَا الْفَخَّارُ الْمَعْرُوفُ
Adapun *al-jarr*, dibaca dengan men-fathah-kan huruf *jim*, ia adalah *isim jam’* (kata benda kolektif), bentuk tunggalnya adalah *jarrah*, dan dijamakkan juga menjadi *jirar*, dan ia adalah tembikar/gerabah yang sudah dikenal ini.
وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ اسْتِفْتَاءِ الْمَرْأَةِ الرِّجَالَ الْأَجَانِبَ وَسَمَاعِهَا صَوْتَهُمْ وَسَمَاعِهِمْ صَوْتَهَا لِلْحَاجَةِ
Dan dalam hal ini terdapat dalil atas bolehnya seorang wanita meminta fatwa kepada laki-laki asing (bukan mahram), serta (bolehnya) wanita tersebut mendengar suara mereka dan mereka mendengar suara wanita tersebut karena adanya kebutuhan.
وَفِي قَوْلِهِ إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ إِلَخْ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَذْهَبَ بن عَبَّاسٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّهْيَ عَنْ الِانْتِبَاذِ فِي هَذِهِ الْأَوْعِيَةِ لَيْسَ بِمَنْسُوخٍ بَلْ حُكْمُهُ بَاقٍ
Dan dalam ucapannya: "Sesungguhnya utusan Bani Abdil Qais..." dan seterusnya, terdapat dalil bahwa mazhab Ibnu Abbas *radhiyallahu ‘anhu* berpendapat bahwa larangan membuat nabiz dalam wadah-wadah ini tidaklah dinasakh (dihapus hukumnya), bahkan hukumnya tetap berlaku.
وَقَدْ قَدَّمْنَا بَيَانَ الْخِلَافِ فِيهِ
Dan sungguh telah kami sajikan penjelasan mengenai perbedaan pendapat di dalamnya.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (مَرْحَبًا بِالْقَوْمِ) مَنْصُوبٌ عَلَى الْمَصْدَرِ اسْتَعْمَلَتْهُ الْعَرَبُ وَأَكْثَرَتْ مِنْهُ تُرِيدُ بِهِ الْبِرَّ وَحُسْنَ اللِّقَاءِ وَمَعْنَاهُ صَادَفْتُ رَحْبًا وَسَعَةً
Sabda Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*: (*Marhaban bil-qaumi* / Selamat datang kepada kaum ini), dibaca *nashab* sebagai *mashdar*, orang Arab menggunakannya dan memperbanyak penggunaannya dengan maksud kebaikan dan penyambutan yang baik, dan maknanya adalah: "Engkau menjumpai kelapangan dan keleluasaan."
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (غَيْرَ خَزَايَا وَلَا النَّدَامَى) هَكَذَا هُوَ فِي الاصول الندامى بالالف واللام وخزايا بِحَذْفِهِمَا
Sabda Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*: (*Ghaira khazaya wa lan-nadaama* / dalam keadaan tidak hina dan tidak menyesal), demikianlah tertulis dalam naskah-naskah asli: kata *an-nadaama* menggunakan *alif* dan *lam*, sedangkan *khazaya* dengan membuang keduanya.
وَرُوِيَ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ فِيهِمَا وَرُوِيَ بِإِسْقَاطِهِمَا فِيهِمَا
Dan diriwayatkan di selain tempat ini dengan menggunakan *alif* dan *lam* pada kedua kata tersebut, serta diriwayatkan pula dengan membuang keduanya pada kedua kata tersebut.
وَالرِّوَايَةُ فِيهِ غَيْرَ بِنَصْبِ الرَّاءِ عَلَى الْحَالِ
Adapun riwayat pada kata *ghaira* adalah dengan men-fathah-kan huruf *ra* sebagai *hal* (penjelas keadaan).
وَأَشَارَ صَاحِبُ التَّحْرِيرِ إِلَى أَنَّهُ يُرْوَى أَيْضًا بِكَسْرِ الرَّاءِ عَلَى الصِّفَةِ لِلْقَوْمِ وَالْمَعْرُوفُ الْأَوَّلُ
Penulis kitab *at-Tahrir* mengisyaratkan bahwa kata itu diriwayatkan juga dengan meng-kasrah-kan huruf *ra* (*ghairi*) sebagai sifat bagi kaum tersebut, namun yang *ma'ruf* (terkenal) adalah riwayat yang pertama.
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا جَاءَ فِي رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ مَرْحَبًا بِالْقَوْمِ الذين جاؤا غَيْرَ خَزَايَا وَلَا نَدَامَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Hal itu ditunjukkan oleh apa yang terdapat dalam riwayat al-Bukhari: "Selamat datang kepada kaum yang datang dalam keadaan tidak hina dan tidak menyesal." *Wallahu a’lam*.
أَمَّا الْخَزَايَا فَجَمْعُ خَزْيَانَ كَحَيْرَانَ وَحَيَارَى وَسَكْرَانَ وَسَكَارَى وَالْخَزْيَانُ الْمُسْتَحِي وَقِيلَ الذَّلِيلُ الْمُهَانُ
Adapun *al-khazaya* adalah bentuk jamak dari *khazyan*, seperti (wazan) *hairan* menjadi *hayara* dan *sakran* menjadi *sakara*, adapun *al-khazyan* artinya adalah orang yang malu, dan dikatakan juga artinya: orang yang hina lagi dihinakan.
وَأَمَّا النَّدَامَى فَقِيلَ إِنَّهُ جَمْعُ نَدْمَانَ بِمَعْنَى نَادِمٍ وَهِيَ لُغَةٌ فِي نَادِمٍ حَكَاهَا الْقَزَّازُ صَاحِبُ جَامِعِ اللُّغَةِ وَالْجَوْهَرِيُّ فِي صِحَاحِهِ وَعَلَى هَذَا هُوَ عَلَى بَابِهِ
Adapun *an-nadaama*, dikatakan bahwa itu adalah bentuk jamak dari *nadman* yang bermakna *nadim* (orang yang menyesal), dan itu adalah satu dialek bahasa untuk kata *nadim*, yang hikayatkan oleh al-Qazzaz penulis *Jami’ al-Lughah* dan al-Jauhari dalam kitab *ash-Shihah*-nya, dan berdasarkan ini maka kata tersebut berjalan sesuai kaidah aslinya.
وَقِيلَ هُوَ جَمْعُ نَادِمٍ اتِّبَاعًا لِلْخَزَايَا وَكَانَ الْأَصْلُ نَادِمِينَ فَأُتْبِعَ لِخَزَايَا تَحْسِينًا لِلْكَلَامِ
Dikatakan juga bahwa ia adalah jamak dari *nadim* sebagai bentuk *ittiba’* (mengikuti pola) kata *al-khazaya*, padahal asalnya adalah *nadimin*, lalu diikutkan polanya kepada *khazaya* untuk memperindah perkataan.
وَهَذَا الْإِتْبَاعُ كَثِيرٌ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ وَهُوَ مِنْ فَصِيحِهِ وَمِنْهُ قَوْلُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ارْجِعْنَ مَأْزُورَاتٍ غَيْرَ مَأْجُورَاتٍ أَتْبَعَ مَأْزُورَاتٍ لِمَأْجُورَاتٍ
Dan *ittiba’* (penyesuaian pola) seperti ini banyak terdapat dalam perkataan orang Arab dan termasuk bagian dari kefasihannya, di antaranya adalah sabda Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*: "*Irji'na ma'zuraatin ghaira ma'juuraatin*" (Pulanglah kalian dalam keadaan berdosa tidak berpahala), beliau mengikutkan pola *ma'zurat* kepada *ma'jurat*.
وَلَوْ أَفْرَدَ وَلَمْ يَضُمَّ إِلَيْهِ مَأْجُورَاتٍ لَقَالَ مَوْزُورَاتٍ كَذَا قَالَهُ الْفَرَّاءُ وَجَمَاعَاتٌ
Seandainya kata itu disendirikan dan tidak digabungkan dengan kata *ma'jurat*, niscaya beliau akan mengucapkan *mauzurat*, demikianlah yang dikatakan oleh al-Farra’ dan sekelompok ulama.
قَالُوا وَمِنْهُ قَوْلُ الْعَرَبِ إِنَى لَآتِيهِ بِالْغَدَايَا وَالْعَشَايَا جَمَعُوا الْغَدَاةَ عَلَى غَدَايَا إِتْبَاعًا لعشايا ولو أفردت لم يجز الاغدوات
Mereka berkata: Termasuk dalam hal ini adalah perkataan orang Arab: "*Inni la-aatihi bil-ghadaaya wal-‘asyaaya*" (Sesungguhnya aku mendatanginya di waktu pagi dan petang), mereka menjamakkan kata *al-ghadah* menjadi *ghadaaya* karena mengikuti pola *‘asyaaya*, padahal seandainya disendirikan niscaya tidak boleh kecuali diucapkan *ghadawaat*.
وَأَمَّا مَعْنَاهُ فَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ تأخر عن الاسلام ولا عناد ولاأصابكم إِسَارٌ وَلَا سَبَاءٌ وَلَا مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِمَّا تَسْتَحْيُونَ بِسَبَبِهِ أَوْ تَذِلُّونَ أَوْ تُهَانُونَ أَوْ تَنْدَمُونَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Adapun maknanya, maka yang dimaksud adalah bahwa tidak ada keterlambatan masuk Islam dari kalian, tidak ada penentangan, dan kalian tidak tertimpa penawanan, tidak pula perbudakan, serta tidak pula hal-hal serupa yang menyebabkan kalian malu, hina, dinistakan, atau menyesal karenanya. *Wallahu a’lam*.
قَوْلُهُ (فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْتِيكَ مِنْ شُقَّةٍ بَعِيدَةٍ) الشُّقَّةُ بِضَمِّ الشِّينِ وَكَسْرِهَا لُغَتَانِ مَشْهُورَتَانِ أَشْهَرُهُمَا وَأَفْصَحُهُمَا الضَّمُّ وَهِيَ الَّتِي جَاءَ بِهَا الْقُرْآنُ الْعَزِيزُ
Ucapan mereka: ("Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mendatangi engkau dari *syuqqah* [perjalanan] yang jauh"), kata *asy-syuqqah* dibaca dengan men-dhammah-kan huruf *syin* atau meng-kasrah-kannya, keduanya adalah dialek yang masyhur, namun yang paling masyhur dan paling fasih adalah dengan *dhammah*, dan itulah yang terdapat dalam al-Qur'an yang mulia.
قَالَ الْإِمَامُ أَبُو إِسْحَاقَ الثَّعْلَبِيُّ وَقَرَأَ عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ بِكَسْرِ الشِّينِ وَهِيَ لُغَةُ قيس والشقة السفر البعيد كذا قاله بن السكيت وبن قُتَيْبَةَ وَقُطْرُبٌ وَغَيْرُهُمْ
Imam Abu Ishaq ats-Tsa’labi berkata: "Ubaid bin Umair membaca dengan meng-kasrah-kan huruf *syin*, dan itu adalah dialek kabilah Qais." Adapun *asy-syuqqah* bermakna perjalanan jauh, demikian dikatakan oleh Ibnu as-Sikkit, Ibnu Qutaibah, Qutrub, dan selain mereka.
قِيلَ سُمِّيَتْ شُقَّةً لِأَنَّهَا تَشُقُّ عَلَى الْإِنْسَانِ وَقِيلَ هِيَ الْمَسَافَةُ وَقِيلَ الْغَايَةُ الَّتِي يَخْرُجُ الْإِنْسَانُ إِلَيْهَا
Dikatakan bahwa ia dinamakan *syuqqah* karena ia memberatkan (*tasyuqqu*) manusia, dikatakan pula maknanya adalah jarak tempuh, dan dikatakan pula maknanya adalah tujuan akhir yang manusia keluar menuju kepadanya.
فَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ يَكُونُ قَوْلُهُمْ بَعِيدَةً مُبَالَغَةً فِي بُعْدِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Maka berdasarkan pendapat pertama, ucapan mereka "jauh" menjadi bentuk penegasan (*mubalaghah*) akan jauhnya jarak tersebut. *Wallahu a’lam*.
قَوْلِهِمْ (فَمُرْنَا بِأَمْرٍ فَصْلٍ) هُوَ بِتَنْوِينِ أَمْرٍ قَالَ الْخَطَّابِيُّ وَغَيْرُهُ هُوَ الْبَيِّنُ الْوَاضِحُ الَّذِي يَنْفَصِلُ بِهِ الْمُرَادُ وَلَا يُشْكِلُ
Ucapan mereka: ("Maka perintahkanlah kami dengan perintah yang pemutus"), dibaca dengan menanwinkan kata *amrin*, al-Khaththabi dan selainnya berkata: Maknanya adalah perintah yang terang lagi jelas, yang dengannya maksud menjadi terpisah (jelas) dan tidak rancu.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (وَأَخْبِرُوا بِهِ مِنْ وَرَائِكُمْ وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ فِي رِوَايَتِهِ مَنْ وَرَاءَكُمْ) هَكَذَا ضَبَطْنَاهُ وَكَذَا هُوَ فِي الْأُصُولِ الْأُوَلُ بِكَسْرِ الْمِيمِ وَالثَّانِي بِفَتْحِهَا وَهُمَا يَرْجِعَانِ إِلَى مَعْنًى وَاحِدٍ
Sabda Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*: ("Dan kabarkanlah kepada orang-orang di belakang kalian", dan Abu Bakar berkata dalam riwayatnya "*man waraa-akum*"), demikianlah kami men-dhabith-nya (mencatatnya dengan tepat), dan demikianlah tertulis dalam naskah-naskah asli; yang pertama dengan mengkasrahkan *mim* (*min* = dari/orang), dan yang kedua dengan memfathahkannya (*man* = siapa/orang), dan keduanya kembali kepada makna yang sama.
قَوْلُهُ (وَحَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ) هُوَ بِفَتْحِ الْجِيمِ وَالضَّادِ الْمُعْجَمَةِ وَإِسْكَانِ الْهَاءِ بَيْنَهُمَا وَقَدْ تَقَدَّمَ بَيَانُهُ فِي شَرْحِ الْمُقَدِّمَةِ
Ucapannya: ("Dan telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali al-Jahdhami"), dibaca dengan memfathahkan *jim* dan *dhad* (bertitik) serta mensukunkan huruf *ha* di antara keduanya, dan penjelasannya telah lalu pada syarah *muqaddimah* (pendahuluan).
قَوْلُهُ (قَالَا جَمِيعًا) فَلَفْظَةُ جَمِيعًا مَنْصُوبَةٌ عَلَى الْحَالِ وَمَعْنَاهُ اتَّفَقَا وَاجْتَمَعَا على التعديت بِمَا يَذْكُرهُ إِمَّا مُجْتَمِعَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ واما فى وقتين
Ucapannya: ("Keduanya berkata seraya bersama-sama"), lafal *jamii'an* dibaca *nashab* sebagai *hal*, maknanya adalah mereka berdua sepakat dan berkumpul dalam meriwayatkan apa yang disebutkan, baik keduanya berkumpul dalam satu waktu ataupun dalam dua waktu yang berbeda.
ومن اعتقد أنه لابد أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا بَيِّنًا
Dan barangsiapa meyakini bahwa hal itu harus terjadi dalam satu waktu yang sama, maka sungguh ia telah keliru dengan kekeliruan yang nyata.
قَوْلُهُ (وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِلْأَشَجِّ أَشَجِّ عَبْدِ الْقَيْسِ إِنَّ فِيكَ لَخَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ)
Ucapannya: ("Dan Rasulullah *shallallahu ‘alaihi wa sallam* bersabda kepada al-Asyaj, Asyaj Bani Abdul Qais: Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Allah: *al-hilm* [santun/tidak cepat marah] dan *al-anaah* [tidak tergesa-gesa]").
أَمَّا الْأَشَجُّ فَاسْمُهُ الْمُنْذِرُ بْنُ عَائِذٍ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ الْعَصَرِيُّ بِفَتْحِ الْعَيْنِ وَالصَّادِ الْمُهْمَلَتَيْنِ هذا هو الصحيح المشهور الذى قاله بن عبد البر والاكثرون أو الكثيرون
Adapun al-Asyaj, namanya adalah al-Mundzir bin ‘Aidz (dengan huruf *dzal* bertitik) al-‘Ashari (dengan memfathahkan *‘ain* dan *shad* yang tak bertitik), ini adalah pendapat yang shahih lagi masyhur yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr dan mayoritas ulama atau banyak dari mereka.
وقال بن الكلبى اسمه المنذر بن الْحَارِثِ بْنِ زِيَادِ بْنِ عَصَرِ بْنِ عَوْفٍ وَقِيلَ اسْمُهُ الْمُنْذِرُ بْنُ عَامِرٍ وَقِيلَ الْمُنْذِرُ بن عبيد وقيل اسمه عائذ بن الْمُنْذِرِ وَقِيلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْفٍ
Ibnu al-Kalbi berkata: Namanya adalah al-Mundzir bin al-Harits bin Ziyad bin ‘Ashar bin ‘Auf. Dikatakan juga namanya al-Mundzir bin ‘Amir. Dikatakan juga al-Mundzir bin ‘Ubaid. Dikatakan juga namanya ‘Aidz bin al-Mundzir. Dan dikatakan pula Abdullah bin ‘Auf.
وَأَمَّا الحلم فهو العقل وأما الأناة فهي التثبت وَتَرْكُ الْعَجَلَةِ وَهِيَ مَقْصُورَةٌ
Adapun *al-hilm* maknanya adalah akal, sedangkan *al-anaah* adalah *at-tatsabbut* (berhati-hati/memastikan) dan tidak tergesa-gesa, dan kata ini (dibaca) *maqshurah* (pendek akhiran alifnya).
وَسَبَبُ قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ لَهُ مَا جَاءَ فِي حَدِيثِ الْوَفْدِ أَنَّهُمْ لَمَّا وَصَلُوا الْمَدِينَةَ بَادَرُوا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
Dan sebab sabda Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* demikian kepadanya adalah riwayat yang terdapat dalam hadits tentang utusan tersebut, bahwasanya tatkala mereka tiba di Madinah, mereka bersegera menuju Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.
وَأَقَامَ الْأَشَجُّ عِنْدَ رِحَالِهِمْ فَجَمَعَهَا وَعَقَلَ نَاقَتَهُ وَلَبِسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَى النبى صلى الله عليه وسلم
Sedangkan al-Asyaj tetap tinggal di tempat barang-barang bawaan mereka, lalu ia mengumpulkannya dan mengikat untanya, serta mengenakan pakaiannya yang paling bagus, kemudian baru datang menghadap Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.
فقر به النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأَجْلَسَهُ إِلَى جَانِبِهِ ثُمَّ قَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم تُبَايِعُونَ عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَقَوْمِكُمْ فَقَالَ الْقَوْمُ نَعَمْ
Maka Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* mendekatkannya dan mendudukkannya di samping beliau, kemudian Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* bersabda kepada mereka: "Apakah kalian membaiat atas nama diri kalian dan kaum kalian?" Maka kaum itu menjawab: "Ya."
فَقَالَ الْأَشَجُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَمْ تُزَاوِلِ الرَّجُلَ عَنْ شَيْءٍ أَشَدَّ عَلَيْهِ مِنْ دِينِهِ
Maka al-Asyaj berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau tidaklah mengolah seseorang mengenai sesuatu yang lebih berat baginya daripada agamanya."
نُبَايِعُكَ عَلَى أَنْفُسِنَا وَنُرْسِلُ مَنْ يَدْعُوهُمْ فَمَنِ اتَّبَعَنَا كَانَ مِنَّا وَمَنْ أَبَى قَاتَلْنَاهُ قَالَ صَدَقْتَ إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ الْحَدِيثَ
"Kami membaiatmu atas nama diri kami, dan kami akan mengirim orang yang menyeru mereka. Maka barangsiapa yang mengikuti kami, ia adalah golongan kami, dan barangsiapa menolak, kami akan memeranginya." Beliau bersabda: "Engkau benar, sesungguhnya pada dirimu terdapat dua perangai..." (al-Hadits).
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ فَالْأَنَاةُ تَرَبُّصُهُ حَتَّى نَظَرَ فِي مَصَالِحِهِ وَلَمْ يَعْجَلْ
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: Maka *al-anaah* adalah sikapnya yang menanti sejenak hingga ia memperhatikan kemaslahatannya dan tidak tergesa-gesa.
وَالْحِلْمُ هَذَا الْقَوْلُ الَّذِي قَالَهُ الدَّالُّ عَلَى صِحَّةِ عَقْلِهِ وَجَوْدَةِ نَظَرِهِ لِلْعَوَاقِبِ
Sedangkan *al-hilm* adalah ucapan yang dikatakannya ini, yang menunjukkan akan kesehatan akalnya dan bagusnya pandangannya terhadap akibat-akibat perkara.
قُلْتُ وَلَا يُخَالِفُ هَذَا مَا جَاءَ فِي مُسْنَدِ أَبِي يَعْلَى وَغَيْرِهِ أَنَّهُ لَمَّا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِلْأَشَجِّ إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ الْحَدِيثَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَانَا فِيَّ أَمْ حَدَثَا
Saya (an-Nawawi) berkata: Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat yang terdapat dalam Musnad Abu Ya’la dan selainnya, bahwasanya tatkala Rasulullah *shallallahu ‘alaihi wa sallam* bersabda kepada al-Asyaj: "Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua perangai..." (al-Hadits), ia bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah keduanya memang sudah ada padaku atau baru muncul?"
قَالَ بَلْ قَدِيمٌ قَالَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خُلُقَيْنِ يُحِبُّهُمَا
Beliau menjawab: "Bahkan sudah lama." Ia berkata: "Aku pun berucap: Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan watak padaku di atas dua akhlak yang Dia cintai."
قَوْلُهُ (حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْ لَقِيَ الْوَفْدَ الَّذِينَ قَدِمُوا على رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ ...)
Ucapannya: ("Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi ‘Arubah dari Qatadah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami orang yang bertemu dengan utusan yang datang kepada Rasulullah *shallallahu ‘alaihi wa sallam* dari Bani Abdil Qais...").
(قَالَ سَعِيدُ وَذَكَرَ قَتَادَةُ أَبَا نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ) مَعْنَى هَذَا الْكَلَامِ أَنَّ قَتَادَةَ حَدَّثَ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ كَمَا جَاءَ مُبَيَّنًا فِي الرِّوَايَةِ الَّتِي بَعْدَ هَذَا مِنْ رواية بن أَبِي عَدِيٍّ
(Sa’id berkata: Dan Qatadah menyebutkan Abu Nadhrah dari Abu Sa’id al-Khudri), makna perkataan ini adalah bahwa Qatadah menceritakan hadits ini dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id al-Khudri, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat setelah ini dari riwayat Ibnu Abi ‘Adi.
وَأَمَّا أَبُو عَرُوبَةَ بِفَتْحِ الْعَيْنِ فَاسْمُهُ مِهْرَانَ وَهَكَذَا يَقُولُهُ أَهْلُ الْحَدِيثِ وَغَيْرُهُمْ عروبة بغير ألف ولام
Adapun Abu ‘Arubah, dengan memfathahkan *‘ain*, namanya adalah Mihran, dan demikianlah ahli hadits dan selain mereka menyebutnya: ‘Arubah tanpa *alif* dan *lam*.
وَقَالَ بن قُتَيْبَةَ فِي كِتَابِهِ أَدَبُ الْكَاتِبِ فِي بَابِ ما تغير من أسماء الناس هو بن أَبِي الْعَرُوبَةَ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ يَعْنِي أَنَّ قَوْلَهُمْ عروبة لحن
Ibnu Qutaibah berkata dalam kitabnya *Adab al-Katib* pada bab nama-nama manusia yang berubah: Dia adalah Ibnu Abi al-‘Arubah dengan *alif* dan *lam*, maksudnya ucapan mereka "‘Arubah" adalah keliru (secara bahasa).
وَذَكَرَهُ بن قُتَيْبَةَ فِي كِتَابِهِ الْمَعَارِفُ كَمَا ذَكَرَهُ غَيْرُهُ فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ يُكْنَى أَبَا النضر لاعقب لَهُ
Dan Ibnu Qutaibah menyebutkannya dalam kitabnya *al-Ma’arif* sebagaimana orang lain menyebutkannya, ia berkata: Sa’id bin Abi ‘Arubah, ber-kunyah Abu an-Nadhr, tidak memiliki keturunan.
يُقَالُ إِنَّهُ لَمْ يَمَسَّ امْرَأَةً قَطُّ وَاخْتَلَطَ فِي آخِرِ عُمُرِهِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ مِنِ اخْتِلَاطِهِ كَذَا قَالَهُ غَيْرُهُ وَاخْتِلَاطُهُ مَشْهُورٌ
Dikatakan bahwa ia tidak pernah menyentuh wanita sama sekali, dan ia mengalami *ikhtilath* (kekacauan hafalan/pikun) di akhir umurnya, dan apa yang dikatakannya mengenai *ikhtilath*-nya ini juga dikatakan oleh selainnya, dan *ikhtilath*-nya itu masyhur.
قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَخَلَّطَ سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ بَعْدَ هَزِيمَةِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنِ بْنِ حَسَنٍ سَنَةَ ثِنْتَيْنِ وَأَرْبَعِينَ يَعْنِي وَمِائَةٍ
Yahya bin Ma’in berkata: Sa’id bin Abi ‘Arubah mengalami kekacauan hafalan setelah kekalahan Ibrahim bin Abdullah bin Hasan bin Hasan pada tahun 42, maksudnya 142 (Hijriah).
وَمَنْ سَمِعَ مِنْهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ وَيَزِيدُ بْنُ هَارُونَ صَحِيحُ السَّمَاعِ مِنْهُ بِوَاسِطٍ وَأَثْبَتُ النَّاسِ سَمَاعًا مِنْهُ عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ
Dan barangsiapa yang mendengar darinya setelah masa itu, maka (riwayatnya) tidak dianggap. Yazid bin Harun mendengar darinya secara shahih di Wasith, dan orang yang paling kuat pendengaran (riwayatnya) darinya adalah ‘Abdah bin Sulaiman.
قُلْتُ وَقَدْ مَاتَ سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ سَنَةَ سِتٍّ وَخَمْسِينَ وَمِائَةٍ وَقِيلَ سَنَةَ سَبْعٍ وَخَمْسِينَ
Aku (an-Nawawi) berkata: Dan sungguh Sa’id bin Abi ‘Arubah wafat pada tahun 156, dan dikatakan tahun 157 (Hijriah).
وَقَدْ تَقَرَّرَ مِنَ الْقَاعِدَةِ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا أَنَّ مِنْ عَلِمْنَا أَنَّهُ رَوَى عَنِ الْمُخْتَلِطِ فِي حَالِ سَلَامَتِهِ قَبِلْنَا رِوَايَتَهُ وَاحْتَجَجْنَا بِهَا
Dan telah ditetapkan dalam kaidah yang telah kami ajukan, bahwa barangsiapa yang kami ketahui meriwayatkan dari seorang *mukhtalith* (perawi yang kacau hafalannya) di masa sehatnya (sebelum pikun), maka kami menerima riwayatnya dan berhujah dengannya.
وَمَنْ رَوَى فِي حَالِ الِاخْتِلَاطِ أَوْ شَكَكْنَا فِيهِ لَمْ نَحْتَجَّ بِرِوَايَتِهِ
Dan barangsiapa yang meriwayatkan di masa *ikhtilath* atau kami meragukannya, maka kami tidak berhujah dengan riwayatnya.
وَقَدْ قَدَّمْنَا أَيْضًا أَنَّ مَنْ كَانَ مِنَ الْمُخْتَلِطِينَ مُحْتَجًّا بِهِ فِي الصَّحِيحَيْنِ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ ثَبَتَ أَخْذُ ذَلِكَ عَنْهُ قَبْلَ الِاخْتِلَاطِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan telah kami sampaikan pula bahwa siapa saja dari kalangan perawi *mukhtalith* yang dijadikan hujah dalam *ash-Shahihain* (Bukhari dan Muslim), maka hal itu dibawa pada pemahaman bahwa telah terbukti pengambilan riwayat darinya itu terjadi sebelum masa *ikhtilath*. *Wallahu a’lam*.
وَأَمَّا أَبُو نَضْرَةَ بِفَتْحِ النُّونِ وَإِسْكَانِ الضَّادِ الْمُعْجَمَةِ فَاسْمُهُ الْمُنْذِرُ بْنُ مَالِكِ بْنِ قِطْعَةَ بِكَسْرِ الْقَافِ وَإِسْكَانِ الطَّاءِ الْعَوَقِيُّ بِفَتْحِ الْعَيْنِ وَالْوَاوِ وَبِالْقَافِ هَذَا هُوَ المشهور
Adapun Abu Nadhrah, dengan memfathahkan *nun* dan mensukunkan *dhad* bertitik, namanya adalah al-Mundzir bin Malik bin Qith’ah (dengan kasrah *qaf* dan sukun *tha’*), al-‘Awaqi (dengan fathah *‘ain* dan *wawu* serta *qaf*), inilah yang masyhur.
الَّذِي قَالَهُ الْجُمْهُورُ وَحَكَى صَاحِبُ الْمَطَالِعِ أَنَّ بعضهم سكن الواو من العوقى والعوقة بَطْنٍ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ وَهُوَ بَصْرِيٌّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Penulis kitab *al-Mathali’* menghikayatkan bahwa sebagian mereka mensukunkan huruf *wawu* dari *al-‘Auqi*. Dan *al-‘Awaqah* adalah satu kabilah dari Abdul Qais, dan dia adalah orang Bashrah. *Wallahu a’lam*.
وَأَمَّا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ فَاسْمُهُ سَعْدُ بْنُ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ مَنْسُوبٌ إِلَى بَنِي خُدْرَةَ وَكَانَ أَبُوهُ مَالِكٌ رضي الله عنه صَحَابِيًّا أَيْضًا قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ شَهِيدًا
Adapun Abu Sa’id al-Khudri, namanya adalah Sa’ad bin Malik bin Sinan, dinisbatkan kepada Bani Khudrah, dan ayahnya yaitu Malik *radhiyallahu ‘anhu* adalah seorang sahabat juga yang terbunuh pada perang Uhud sebagai syahid.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (فَتَقْذِفُونَ فِيهِ مِنَ الْقُطَيْعَاءِ) أَمَّا تَقْذِفُونَ فَهُوَ بِتَاءٍ مُثَنَّاةٍ فَوْقُ مَفْتُوحَةٍ ثُمَّ قَافٍ سَاكِنَةٍ ثُمَّ ذَالٍ مُعْجَمَةٍ مَكْسُورَةٍ ثُمَّ فَاءٍ ثُمَّ وَاوٍ ثُمَّ نُونٍ كَذَا وَقَعَ فِي الْأُصُولِ كُلِّهَا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ الْأَوَّلِ وَمَعْنَاهُ تُلْقُونَ فِيهِ وَتَرْمُونَ
Sabda Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* ("Maka kalian melemparkan [*taqdzifuna*] ke dalamnya *quthai'aa*"), adapun *taqdzifuna*, kata itu menggunakan *ta’* bertitik dua di atas yang difathahkan, kemudian *qaf* sukun, lalu *dzal* bertitik yang dikasrahkan, lalu *fa’*, kemudian *wawu*, lalu *nun*. Demikianlah yang terdapat dalam semua naskah asli pada tempat pertama ini, dan maknanya adalah kalian mencampakkan dan melemparkan ke dalamnya.
وَأَمَّا قَوْلُهُ فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى وَهِيَ رِوَايَةُ مُحَمَّدِ بن المثنى وبن بشار عن بن أَبِي عَدِيٍّ وَتَذِيفُونَ بِهِ مِنَ الْقُطَيْعَاءِ فَلَيْسَتْ فِيهَا قَافٌ
Adapun lafalnya pada riwayat yang lain, yaitu riwayat Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar dari Ibnu Abi ‘Adi ("*wa tadziifuna bihi minal-quthai’aa*"), maka tidak terdapat huruf *qaf* di dalamnya.
وَرُوِيَ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ وَبِالْمُهْمَلَةِ وَهُمَا لُغَتَانِ فَصَيْحَتَانِ وَكِلَاهُمَا بِفَتْحِ التَّاءِ وَهُوَ مِنْ ذَافَ يَذِيفُ بِالْمُعْجَمَةِ كَبَاعَ يَبِيعُ وَدَافَ يَدُوفُ بِالْمُهْمَلَةِ كَقَالَ يَقُولُ
Dan diriwayatkan dengan huruf *dzal* bertitik (*tadziifuna*) dan *dal* tidak bertitik (*tadiifuna*), keduanya adalah dua dialek yang fasih, dan keduanya dibaca dengan memfathahkan *ta’*. Kata itu berasal dari *dzaafa - yadziifu* dengan huruf bertitik seperti wazan *baa’a - yabii’u*, dan *daafa - yaduufu* dengan huruf tak bertitik seperti wazan *qaala - yaquulu*.
وَإِهْمَالُ الدَّالِ أَشْهَرُ فِي اللُّغَةِ وَضَبَطَهُ بَعْضُ رُوَاةِ مُسْلِمٍ بِضَمِّ التَّاءِ عَلَى رِوَايَةِ الْمُهْمَلَةِ وَعَلَى رِوَايَةِ الْمُعْجَمَةِ أَيْضًا جَعَلَهُ مِنْ أَذَافَ
Dan penggunaan *dal* tak bertitik (*muhmalah*) lebih masyhur secara bahasa. Sebagian perawi Muslim men-dhabith-nya dengan men-dhammah-kan *ta’* (*tudiifuna/tudziifuna*) pada riwayat *muhmalah* (tak bertitik) dan pada riwayat *mu’jamah* (bertitik) juga, menjadikannya berasal dari kata *adaafa/adzaafa*.
وَالْمَعْرُوفُ فَتْحُهَا مِنْ ذَافَ وَأَذَافَ وَمَعْنَاهُ عَلَى الْأَوْجُهِ كُلِّهَا خَلْطٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Namun yang *ma'ruf* (dikenal) adalah memfathahkannya, dari kata *dzaafa* dan *adzaafa*, dan maknanya menurut semua bentuk tersebut adalah mencampur. *Wallahu a’lam*.
وَأَمَّا الْقُطَيْعَاءُ فَبِضَمِّ الْقَافِ وَفَتْحِ الطَّاءِ وَبِالْمَدِّ وَهُوَ نَوْعٌ مِنَ التَّمْرِ صِغَارٌ يُقَالُ له الشهريز بِالشِّينِ الْمُعْجَمَةِ وَالْمُهْمَلَةِ وَبِضَمِّهِمَا وَبِكَسْرِهِمَا
Adapun *al-quthai’aa*, dibaca dengan men-dhammah-kan *qaf* dan memfathahkan *tha’* serta dibaca panjang (*madd*), ia adalah sejenis kurma berukuran kecil yang disebut *asy-syahriz* (dengan *syin* bertitik) atau *as-sahriz* (tak bertitik), dan bisa dibaca dengan men-dhammah-kan keduanya (*syuhriiz/suhriiz*) atau mengkasrahkan keduanya (*syihriiz/sihriiz*).
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (حتى أن أحدكم أوان أحدهم ليضرب بن عَمِّهِ بِالسَّيْفِ) مَعْنَاهُ إِذَا شَرِبَ هَذَا الشَّرَابَ سَكِرَ فَلَمْ يَبْقَ لَهُ عَقْلٌ وَهَاجَ بِهِ الشر
Sabda Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* ("Sehingga salah seorang dari kalian -atau salah seorang dari mereka- sungguh memukul sepupunya dengan pedang"), maknanya adalah apabila ia meminum minuman ini ia menjadi mabuk, sehingga tidak tersisa akal padanya dan keburukan bergejolak padanya.
فيضرب بن عَمِّهِ الَّذِي هُوَ عِنْدَهُ مِنْ أَحَبِّ أَحْبَابِهِ وَهَذِهِ مَفْسَدَةٌ عَظِيمَةٌ وَنَبَّهَ بِهَا عَلَى مَا سِوَاهَا مِنَ الْمَفَاسِدِ
Lalu ia memukul sepupunya yang menurutnya adalah termasuk orang yang paling dicintainya, ini adalah kerusakan yang besar, dan beliau mengingatkan dengannya atas kerusakan-kerusakan lainnya.
وَقَوْلُهُ أَحَدُكُمْ أَوْ أَحَدُهُمْ شك من الراوى والله أعلم
Dan ucapannya "salah seorang dari kalian atau salah seorang dari mereka" adalah keraguan dari perawi. *Wallahu a’lam*.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjelasan Iman, Islam, dan Ihsan #1

Penjelasan Iman, Islam dan Ihsan #2

Bab Pengetahuan tentang Iman, Islam, Takdir, dan Tanda-tanda Kiamat