Penjelasan Bab Perintah Beriman kepada Allah Ta'ālā dan Rasul-Nya #3
قوله (وَفِي الْقَوْمِ رَجُلٌ أَصَابَتْهُ جِرَاحَةٌ)
Ucapannya: (“Dan di tengah kaum itu ada seorang laki-laki yang terkena luka”).
وَاسْمُ هَذَا الرجل جهم
Dan nama laki-laki ini adalah Jahm.
وَكَانَتِ الْجِرَاحَةُ فِي سَاقِهِ
Dan lukanya berada di betisnya.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (فِي أَسْقِيَةِ الْأَدَمِ الَّتِي يُلَاثُ عَلَى أَفْوَاهِهَا)
Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: (“Dalam qirbah-qirbah dari kulit yang ‘yulaatsu’ pada mulut-mulutnya”).
أَمَّا الْأَدَمُ فَبِفَتْحِ الْهَمْزَةِ وَالدَّالِ جَمْعُ أَدِيمٍ
Adapun *al-adam* (kulit) dibaca dengan memfathahkan hamzah dan dal, ia adalah jamak dari *adiim*.
وَهُوَ الْجِلْدُ الَّذِي تَمَّ دِبَاغُهُ
Dan ia adalah kulit yang telah selesai disamak.
وَأَمَّا يُلَاثُ عَلَى أَفْوَاهِهَا فَبِضَمِّ الْمُثَنَّاةِ مِنْ تَحْتُ وَتَخْفِيفِ اللَّامِ وَآخِرُهُ ثَاءٌ مُثَلَّثَةٌ
Adapun *yulaatsu ‘ala afwaahihaa* dibaca dengan mendhammahkan huruf ta’ yang bertitik dua di bawah, mentakhfif (meringankan) huruf lam, dan di akhirnya ada tsa’ (ث) bertiga titik.
كَذَا ضَبَطْنَاهُ وَكَذَا هُوَ فِي أَكْثَرِ الْأُصُولِ
Demikianlah kami men-dhabith-nya, dan demikian pula terdapat dalam kebanyakan naskah pokok.
وَفِي أصل الحافظ أبى عامر العبدرى ثلاث بِالْمُثَنَّاةِ فَوْقُ
Dan dalam naskah al-Hafizh Abu ‘Amir al-‘Abdari terdapat (lafal) *tsalats* dengan ta’ bertitik dua di atas.
وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ
Dan kedua bentuk itu shahih.
فَمَعْنَى الْأَوَّلُ يُلَفُّ الْخَيْطُ عَلَى أَفْوَاهِهَا وَيُرْبَطُ بِهِ
Maka makna bentuk pertama: benang dililitkan pada mulut-mulutnya lalu diikat dengannya.
وَمَعْنَى الثَّانِي تُلَفُّ الْأَسْقِيَةُ عَلَى أَفْوَاهِهَا كَمَا يُقَالُ ضَرَبْتُهُ عَلَى رَأْسِهِ
Dan makna bentuk kedua: qirbah-qirbah itu dililitkan pada mulut-mulutnya, sebagaimana dikatakan: “Aku memukulnya pada kepalanya.”
قَوْلُهُ (إِنَّ أَرْضَنَا كَثِيرَةُ الْجِرْذَانِ)
Ucapannya: (“Sesungguhnya negeri kami banyak *jirzdaan*-nya”).
كَذَا ضَبَطْنَاهُ كَثِيرَةُ بِالْهَاءِ فِي آخِرهِ
Demikianlah kami men-dhabith-nya: *katsiirat[u]* dengan huruf ha’ di akhirnya.
وَوَقَعَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأُصُولِ كَثِيرَ بِغَيْرِ هَاءٍ
Dan dalam banyak naskah pokok tertulis *katsiir* tanpa ha’ (tanpa ta’ ta’nits).
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بْنُ الصَّلَاحِ صَحَّ فِي أُصُولِنَا كَثِيرَ مِنْ غَيْرِ تَاءِ التَّأْنِيثِ
Syaikh Abu ‘Amr bin ash-Shalah berkata: Dalam naskah-naskah kami yang shahih tertulis *katsiir* tanpa ta’ ta’nits.
وَالتَّقْدِيرُ فِيهِ عَلَى هَذَا أَرْضُنَا مَكَانٌ كَثِيرُ الْجِرْذَانِ
Dan takdir (susunan makna) pada bacaan ini adalah: “Negeri kami adalah tempat yang banyak *jirzdan*-nya.”
وَمَنْ نَظَائِرِهِ قَوْلُ اللَّهِ عز وجل ان رحمة الله قريب من المحسنين
Dan di antara padanannya adalah firman Allah ‘azza wa jall: “Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
وَأَمَّا الْجِرْذَانِ فَبِكَسْرِ الْجِيمِ وَإِسْكَانِ الرَّاءِ وَبِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ
Adapun *al-jirzdhaan* dibaca dengan mengkasrahkan jim, mensukunkan ra’, dan dengan dzal (ذ) bertitik.
جَمْعُ جُرَذٍ بِضَمِّ الْجِيمِ وَفَتْحِ الرَّاءِ
Ia adalah jamak dari *juradz* dengan mendhammahkan jim dan memfathahkan ra’.
كنغر ونغران وصرد وصردان
Sebagaimana wazan *nungur – nugraan* dan *shurd – shurdaan*.
وَالْجُرَذُ نَوْعٌ مِنَ الْفَأْرِ كَذَا قَالَهُ الْجَوْهَرِيُّ وَغَيْرُهُ
Dan *al-juradz* adalah salah satu jenis tikus, demikian dikatakan al-Jauhari dan selainnya.
وَقَالَ الزُّبَيْدِيُّ فِي مُخْتَصَرِ الْعَيْنِ هُوَ الذكر من الفار
Az-Zubaidi berkata dalam *Mukhtashar al-‘Ain*: Ia adalah tikus jantan.
وأطاق جَمَاعَةٌ مِنْ شُرَّاحِ الْحَدِيثِ أَنَّهُ الْفَأْرُ
Dan sekelompok pensyarah hadits menyatakan bahwa itu adalah (sama dengan) tikus.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (وَإِنْ أَكَلَتْهَا الْجِرْذَانُ وَإِنْ أَكَلَتْهَا الْجِرْذَانُ وَإِنْ أَكَلَتْهَا الْجِرْذَانُ)
Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: (“Meskipun dimakan *jirzdhaan*, meskipun dimakan *jirzdhaan*, meskipun dimakan *jirzdhaan*”).
هَكَذَا هُوَ فِي الْأُصُولِ مُكَرَّرٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Demikianlah terdapat dalam naskah-naskah pokok, diulang sebanyak tiga kali.
قَوْلُهُ (قالا ثنا بن أَبِي عَدِيٍّ) هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
Ucapannya: (“Keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Adi”), ia adalah Muhammad bin Ibrahim.
وَإِبْرَاهِيمُ هو أَبُو عَدِيٍّ
Dan Ibrahim adalah Abu ‘Adi.
قَوْلُهُ (حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنِ بن جُرَيْجٍ)
Ucapannya: (“Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim dari Ibnu Juraij”).
أَمَّا أَبُو عَاصِمٍ فَالضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ النبيل
Adapun Abu ‘Ashim adalah adh-Dhahhak bin Makhlad, yang bergelar an-Nabil.
وأما بن جُرَيْجٍ فَهُوَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ جُرَيْجٍ
Sedangkan Ibnu Juraij adalah ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij.
قَوْلُهُ (حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ ثنا عبد الرزاق انا بن جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو قَزَعَةَ أَنَّ أَبَا نَضْرَةَ أَخْبَرَهُ وَحَسَنًا أَخْبَرَهُمَا أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ أَخْبَرَهُ)
Ucapannya: (“Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’, telah menceritakan kepada kami ‘Abdur Razzaq, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Abu Qaza’ah bahwa Abu Nadhrah telah mengabarkan kepadanya, dan (bahwa) Hasan telah mengabarkan kepada keduanya, bahwa Abu Sa’id al-Khudri telah mengabarkannya”).
هَذَا الْإِسْنَادُ مَعْدُودٌ فِي الْمُشْكِلَاتِ
Sanad ini termasuk yang dipandang bermasalah (*al-musykilaat*).
وَقَدِ اضْطَرَبَتْ فِيهِ أَقْوَالُ الْأَئِمَّةِ
Dan telah terjadi kerancuan pendapat para imam tentangnya.
وَأَخْطَأَ فِيهِ جماعات من كبار الحفاظ
Dan sekelompok besar para huffazh (penghafal hadits) senior keliru di dalamnya.
والصواب فِيهِ مَا حَقَّقَهُ وَحَرَّرَهُ وَبَسَطَهُ وَأَوْضَحَهُ الْإِمَامُ الْحَافِظُ أَبُو مُوسَى الْأَصْبَهَانِيُّ فِي الْجُزْءِ الَّذِي جَمَعَهُ فِيهِ
Dan pendapat yang benar di dalamnya adalah apa yang diteliti, dirinci, diperluas, dan dijelaskan oleh al-Imam al-Hafizh Abu Musa al-Ashbahani dalam juz (risalah) yang ia susun khusus tentang masalah ini.
وَمَا أَحْسَنَهُ وَأَجْوَدَهُ
Dan betapa bagus dan kuat (tulisannya) itu.
وَقَدْ لَخَّصَهُ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بْنُ الصَّلَاحِ رحمه الله
Dan Syaikh Abu ‘Amr bin ash-Shalah رحمه الله telah meringkasnya.
فَقَالَ هَذَا الْإِسْنَادُ أَحَدُ الْمُعْضِلَاتِ
Beliau berkata: Sanad ini adalah salah satu sanad yang *mu’dlal* (sangat sulit/rumit).
وَلِإِعْضَالِهِ وَقَعَ فِيهِ تَعْبِيرَاتٌ مِنْ جَمَاعَةٍ وَاهِمَةٍ
Dan karena tingkat kesulitannya, muncullah padanya berbagai ungkapan dari sekelompok orang yang keliru.
فَمِنْ ذَلِكَ رِوَايَةُ أَبِي نُعَيْمٍ الْأَصْبَهَانِيِّ فِي مُسْتَخْرَجِهِ عَلَى كِتَابِ مُسْلِمٍ بِإِسْنَادِهِ أَخْبَرَنِي أَبُو قَزَعَةَ أَنَّ أَبَا نَضْرَةَ وَحَسَنًا أَخْبَرَهُمَا أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ أَخْبَرَهُ
Di antaranya adalah riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam *Mustakhraj*-nya atas kitab Muslim, dengan sanadnya: “Telah mengabarkan kepadaku Abu Qaza’ah bahwa Abu Nadhrah dan Hasan telah mengabarkan kepada keduanya bahwa Abu Sa’id al-Khudri telah mengabarkannya.”
وَهَذَا يَلْزَمُ مِنْهُ أَنْ يَكُونَ أَبُو قَزَعَةَ هُوَ الَّذِي أَخْبَرَ أَبَا نَضْرَةَ وَحَسَنًا عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
Dan ini mengharuskan bahwa Abu Qaza’ah-lah yang mengabarkan kepada Abu Nadhrah dan Hasan dari Abu Sa’id.
وَيَكُونُ أَبُو قَزَعَةَ هُوَ الَّذِي سَمِعَ مِنْ أَبِي سَعِيدٍ
Dan berarti Abu Qaza’ah-lah yang mendengar dari Abu Sa’id.
وَذَلِكَ مُنْتَفٍ بِلَا شَكٍّ
Dan hal itu tertolak tanpa keraguan.
وَمِنْ ذَلِكَ أَنَّ أَبَا عَلِيٍّ الْغَسَّانِيَّ صَاحِبَ تَقْيِيدِ الْمُهْمَلِ رَدَّ رِوَايَةَ مُسْلِمٍ هَذِهِ
Dan di antaranya (juga) adalah bahwa Abu ‘Ali al-Ghassani, penulis *Taqyid al-Muhmal*, menolak riwayat Muslim ini.
وَقَلَّدَهُ فِي ذَلِكَ صَاحِبُ الْمُعْلِمِ
Dan penulis *al-Mu’allim* mengikuti (taqlid) kepadanya dalam hal ini.
وَمِنْ شَأْنِهِ تَقْلِيدُهُ فِيمَا يَذْكُرُهُ مِنْ عِلْمِ الْأَسَانِيدِ
Dan kebiasaan (penulis *al-Mu’allim*) adalah bertaqlid kepadanya dalam apa yang ia sebutkan tentang ilmu sanad.
وَصَوَّبَهُمَا فِي ذَلِكَ الْقَاضِي عِيَاضٌ
Dan Qadhi ‘Iyadh membenarkan keduanya dalam hal ini.
فَقَالَ أبو علي الصواب فى الاسناد عن بن جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو قَزَعَةَ أَنَّ أَبَا نَضْرَةَ وَحَسَنًا أَخْبَرَاهُ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ أَخْبَرَهُ
Maka ia (Qadhi ‘Iyadh) berkata: Abu ‘Ali (al-Ghassani) berkata: Yang benar dalam sanad adalah: Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Abu Qaza’ah bahwa Abu Nadhrah dan Hasan telah mengabarkan kepadanya bahwa Abu Sa’id telah mengabarkannya.
وَذَكَرَ أَنَّهُ إِنَّمَا قَالَ أَخْبَرَهُ وَلَمْ يَقُلْ أَخْبَرَهُمَا لِأَنَّهُ رَدَّ الضَّمِيرَ إِلَى أَبِي نَضْرَةَ وَحْدَهُ
Dan ia menjelaskan bahwa ia hanya mengucapkan *akhbarahu* (telah mengabarkan kepadanya), tidak mengucapkan *akhbarahumaa* (kepada keduanya), karena mengembalikan dhamir (kata ganti) kepada Abu Nadhrah saja.
وَأَسْقَطَ الْحَسَنَ لِمَوْضِعِ الْإِرْسَالِ فَإِنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي سَعِيدٍ وَلَمْ يَلْقَهُ
Dan ia menggugurkan Hasan karena posisi irsal (mursal), sebab Hasan tidak mendengar dari Abu Sa’id dan tidak bertemu dengannya.
وَذَكَرَ أَنَّهُ بِهَذَا اللَّفْظِ الَّذِي ذَكَرَهُ مُسْلِمٌ خَرَّجَهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ السَّكَنِ فِي مُصَنَّفِهِ بِإِسْنَادِهِ
Dan ia menyebutkan bahwa dengan lafaz seperti yang dinukil Muslim ini, Abu ‘Ali bin as-Sakan mengeluarkannya dalam kitabnya dengan sanadnya.
قال وأظن أن هذا من اصلاح بن السَّكَنِ
Ia berkata: Dan aku menduga bahwa ini adalah bagian dari perbaikan (ta’shih) Ibnu as-Sakan.
وَذَكَرَ الْغَسَّانِيُّ أَيْضًا أَنَّهُ رَوَاهُ كَذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ فِي مُسْنَدِهِ الْكَبِيرِ بِإِسْنَادِهِ
Dan al-Ghassani juga menyebutkan bahwa Abu Bakr al-Bazzar meriwayatkannya demikian pula dalam *Musnad*-nya yang besar dengan sanadnya.
وَحُكِيَ عَنْهُ وَعَنْ عَبْدِ الْغَنِيِّ بْنِ سَعِيدٍ الْحَافِظِ أَنَّهُمَا ذَكَرَا أَنَّ حَسَنًا هَذَا هُوَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ
Dan dinukil darinya dan dari ‘Abdul Ghani bin Sa’id al-Hafizh bahwa keduanya menyebutkan bahwa Hasan yang dimaksud ini adalah al-Hasan al-Bashri.
وَلَيْسَ الْأَمْرُ فِي ذَلِكَ عَلَى مَا ذَكَرُوهُ
Padahal perkara dalam hal ini tidak sebagaimana yang mereka sebutkan.
بَلْ مَا أَوْرَدَهُ مُسْلِمٌ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ هُوَ الصَّوَابُ
Akan tetapi justru yang dinukil oleh Muslim dalam sanad ini adalah yang benar.
وَكَمَا أَوْرَدَهُ رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ عن روح بن عبادة عن بن جُرَيْجٍ
Dan sebagaimana ia nukil, demikian pula diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Rauh bin ‘Ubadah dari Ibnu Juraij.
وَقَدِ انْتَصَرَ لَهُ الْحَافِظُ أَبُو مُوسَى الْأَصْبَهَانِيُّ رحمه الله
Dan al-Hafizh Abu Musa al-Ashbahani رحمه الله telah membelanya.
وَأَلَّفَ فِي ذَلِكَ كِتَابًا لَطِيفًا تَبَجَّحَ فِيهِ بِإِجَادَتِهِ وَإِصَابَتِهِ مَعَ وَهْمِ غَيْرِ وَاحِدٍ فِيهِ
Dan ia menyusun sebuah risalah yang ringkas tentang masalah ini, ia bangga di dalamnya dengan bagus dan tepatnya (penjelasannya), sementara selain satu orang telah keliru tentangnya.
فَذَكَرَ أَنَّ حَسَنًا هَذَا هُوَ الْحَسَنُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ يَنَاقَ الَّذِي روى عنه بن جريج غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ
Ia menyebutkan bahwa Hasan yang dimaksud ini adalah al-Hasan bin Muslim bin Yanaq, yang darinya Ibnu Juraij meriwayatkan selain hadits ini juga.
وَأَنَّ مَعْنَى هَذَا الْكَلَامِ أَنَّ أَبَا نَضْرَةَ أَخْبَرَ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَبَا قَزَعَةَ وَحَسَنُ بْنُ مُسْلِمٍ كِلَيْهِمَا
Dan bahwa makna ucapan ini adalah: Abu Nadhrah telah mengabarkan hadits ini kepada Abu Qaza’ah dan kepada Hasan bin Muslim, kepada keduanya.
ثُمَّ أَكَّدَ ذَلِكَ بِأَنْ أَعَادَ فَقَالَ أَخْبَرَهُمَا أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ أَخْبَرَهُ
Kemudian ia menegaskan hal itu dengan mengulang, ia berkata: “Telah mengabarkan kepada keduanya bahwa Abu Sa’id telah mengabarkannya.”
يَعْنِي أَخْبَرَ أَبُو سَعِيدٍ أَبَا نَضْرَةَ
Yakni: Abu Sa’id telah mengabarkan kepada Abu Nadhrah.
وَهَذَا كَمَا تَقُولُ إِنَّ زَيْدًا جَاءَنِي وَعَمْرًا جَاءَنِي فَقَالَا كَذَا وَكَذَا
Dan hal ini seperti engkau berkata: “Sesungguhnya Zaid datang kepadaku, dan Amr datang kepadaku, lalu keduanya berkata: begini dan begini.”
وَهَذَا مِنْ فَصِيحِ الْكَلَامِ
Dan ini termasuk ungkapan yang fasih.
وَاحْتَجَّ عَلِيٌّ أَنَّ حَسَنًا فِيهِ هُوَ الْحَسَنُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ يَنَاقَ بْنِ سَلَمَةَ بْنِ شَبِيبٍ
Dan ia (Abu Musa) berdalil bahwa Hasan di sini adalah al-Hasan bin Muslim bin Yanaq bin Salamah bin Syabib.
وَهُوَ ثِقَةٌ
Dan ia adalah perawi yang tsiqah.
رَوَاهُ عَنْ عبد الرزاق عن بن جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو قَزَعَةَ أَنَّ أَبَا نَضْرَةَ أَخْبَرَهُ وَحَسَنُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ يَنَاقَ أَخْبَرَهُمَا أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ أَخْبَرَهُ الْحَدِيثَ
Ia (Abu Musa) meriwayatkan (lafaz) ini dari ‘Abdur Razzaq dari Ibnu Juraij: “Telah mengabarkan kepadaku Abu Qaza’ah bahwa Abu Nadhrah telah mengabarkannya, dan Hasan bin Muslim bin Yanaq telah mengabarkan kepada keduanya bahwa Abu Sa’id telah mengabarkan kepadanya hadits itu.”
وَرَوَاهُ أَبُو الشَّيْخِ الْحَافِظُ فِي كِتَابِهِ الْمُخَرَّجُ عَلَى صَحِيحِ مُسْلِمٍ
Dan al-Hafizh Abu Syaikh meriwayatkannya dalam kitabnya yang disusun atas Shahih Muslim.
وَقَدْ أَسْقَطَ أَبُو مَسْعُودٍ الدِّمَشْقِيُّ وَغَيْرُهُ ذِكْرَ حَسَنٍ مِنَ الْإِسْنَادِ
Dan Abu Mas’ud ad-Dimasyqi dan selainnya telah menggugurkan penyebutan Hasan dari sanad.
لِأَنَّهُ مَعَ إِشْكَالِهِ لَا مَدْخَلَ لَهُ فِي الرِّوَايَةِ
Karena sekalipun ada kesamaran, ia (Hasan) tidak punya peran langsung dalam (mata rantai) riwayat.
وَذَكَرَ الْحَافِظُ أَبُو مُوسَى مَا حَكَاهُ أَبُو عَلِيٍّ الْغَسَّانِيُّ وَبَيَّنَ بُطْلَانَهُ
Dan al-Hafizh Abu Musa menyebutkan apa yang dinukil Abu ‘Ali al-Ghassani dan menjelaskan kebatilannya.
وَبُطْلَانَ رِوَايَةِ مِنْ غَيْرِ الضَّمِيرِ فِي قَوْلِهِ أَخْبَرَهُمَا وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ التَّغْيِيرَاتِ
Dan (ia jelaskan) batalnya riwayat tanpa dhamir dalam ucapannya *akhbarahumaa* dan selain itu dari berbagai perubahan.
وَلَقَدْ أَجَادَ وَأَحْسَنَ رضي الله عنه
Sungguh ia (Abu Musa) telah bagus dan baik (dalam penjelasannya), semoga Allah meridhainya.
هذا آخر كلام الشيخ أبي عمرو رحمه الله
Ini adalah akhir ucapan Syaikh Abu ‘Amr رحمه الله.
وَفِي هَذَا الْقَدْرِ الَّذِي ذَكَرَهُ أَبْلَغُ كِفَايَةٍ
Dan dalam kadar (penjelasan) yang telah beliau sebutkan itu sudah sangat mencukupi.
وَإِنْ كَانَ الْحَافِظُ أَبُو مُوسَى قَدْ أَطْنَبَ فِي بَسْطِهِ وَإِيضَاحِهِ بِأَسَانِيدِهِ وَاسْتِشْهَادَاتِهِ
Meskipun al-Hafizh Abu Musa telah sangat panjang lebar dalam pemaparan dan penjelasannya dengan berbagai sanad dan syawahidnya.
وَلَا ضَرُورَةَ إِلَى زِيَادَةٍ عَلَى هَذَا الْقَدْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan tidak ada kebutuhan untuk menambah lebih dari kadar ini. Dan Allah lebih mengetahui.
وَأَمَّا أَبُو قَزَعَةَ الْمَذْكُورُ فَاسْمُهُ سُوَيْدُ بْنُ حُجَيْرٍ
Adapun Abu Qaza’ah yang disebutkan tadi, namanya adalah Suwaid bin Hujair.
بِحَاءٍ مُهْمَلَةٍ مَضْمُومَةٍ ثُمَّ جِيمٍ مَفْتُوحَةٍ وَآخِرُهُ رَاءٌ
Dengan ha’ tanpa titik yang didhammahkan, kemudian jim yang difathahkan, dan akhirnya ra’.
وَهُوَ بَاهِلِيٌّ بَصْرِيٌّ
Ia adalah seorang Bahili dari Bashrah.
انْفَرَدَ مُسْلِمٌ بِالرِّوَايَةِ لَهُ دُونَ الْبُخَارِيِّ
Muslim saja yang meriwayatkan darinya, bukan al-Bukhari.
وَقَزَعَةُ بِفَتْحِ الْقَافِ وَبِفَتْحِ الزَّايِ وَإِسْكَانِهَا
Dan *Qaza’ah* dibaca dengan memfathahkan qaf, dan juga (boleh) memfathahkan atau mensukunkan zay-nya.
وَلَمْ يَذْكُرْ أَبُو عَلِيٍّ الْغَسَّانِيُّ فِي تَقْيِيدِ الْمُهْمَلِ سِوَى الْفَتْحِ
Dan Abu ‘Ali al-Ghassani dalam *Taqyid al-Muhmal* hanya menyebut fathah (pada zay).
وَحَكَى الْقَاضِي عِيَاضٌ فِيهِ الْفَتْحَ وَالْإِسْكَانَ
Sedangkan Qadhi ‘Iyadh menukil adanya dua cara: fathah dan sukun.
وَوُجِدَ بخط بن الأنباري بالاسكان
Dan dalam tulisan tangan Ibnu al-Anbari ditemukan dengan bacaan sukun.
وذكر بن مَكِّيٍّ فِي كِتَابِهِ فِيمَا يُلْحَنُ فِيهِ أَنَّ الْإِسْكَانَ هُوَ الصَّوَابُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan Ibnu Makki menyebutkan dalam kitabnya *Fiima Yulhanu Fih* bahwa bacaan sukun itulah yang benar. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُمْ (جَعَلَنَا الله فداك) هو بكسر الفاء وبالمد
Ucapan mereka: (“Semoga Allah menjadikan kami tebusan untukmu”), dibaca dengan mengkasrahkan fa’ dan memanjangkan (huruf setelahnya: *fidaak*).
ومعناه يَقِيكَ الْمَكَارِهَ
Dan maknanya: semoga Dia melindungimu dari segala hal yang tidak engkau sukai (bahaya/musibah).
قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَعَلَيْكُمْ بِالْمُوكَى)
Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: (“Dan hendaklah kalian menggunakan *al-mauka*”).
هُوَ بِضَمِّ الْمِيمِ وَإِسْكَانِ الْوَاوِ مَقْصُورٌ غَيْرُ مَهْمُوزٍ
Kata itu dibaca dengan mendhammahkan mim, mensukunkan wawu, dibaca pendek (bukan *muawkā*), dan tanpa hamzah.
وَمَعْنَاهُ انْبِذُوا فِي السِّقَاءِ الدَّقِيقَ الَّذِي يُوكَى أَيْ يُرْبَطُ فُوهُ بِالْوِكَاءِ
Dan maknanya: Buatlah nabiz dalam qirbah yang tipis, yang diikat mulutnya dengan *wikā’* (tali pengikat).
وَهُوَ الْخَيْطُ الَّذِي يُرْبَطُ بِهِ
Dan *al-wikā’* adalah benang/tali yang digunakan untuk mengikatnya.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan Allah lebih mengetahui.
هَذَا مَا يَتَعَلَّقُ بِأَلْفَاظِ هَذَا الْحَدِيثِ
Inilah perkara yang berkaitan dengan lafaz-lafaz hadits ini.
وَأَمَّا أَحْكَامُهُ وَمَعَانِيهِ فَقَدِ انْدَرَجَ جُمَلٌ مِنْهَا فِيمَا ذَكَرْتُهُ
Adapun hukum-hukum dan makna-maknanya, sebagian besarnya telah tercakup dalam apa yang telah saya sebutkan.
وَأَنَا أُشِيرُ إِلَيْهَا مُلَخَّصَةً مُخْتَصَرَةً مُرَتَّبَةً
Dan saya akan mengisyaratkan kepadanya secara ringkas, singkat, dan tersusun.
فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ وِفَادَةُ الرُّؤَسَاءِ وَالْأَشْرَافِ إِلَى الْأَئِمَّةِ عِنْدَ الْأُمُورِ الْمُهِمَّةِ
Maka dalam hadits ini terdapat (dalil) bahwa para pemuka dan pembesar mendatangi para imam (penguasa/ulama) pada perkara-perkara penting.
وَفِيهِ تَقْدِيمُ الِاعْتِذَارِ بَيْنَ يَدَيِ الْمَسْأَلَةِ
Dan di dalamnya terdapat (anjuran) mendahulukan permohonan maaf sebelum mengajukan permintaan/pertanyaan.
وَفِيهِ بَيَانُ مُهِمَّاتِ الْإِسْلَامِ وَأَرْكَانِهِ مَا سِوَى الْحَجِّ
Dan di dalamnya terdapat penjelasan perkara-perkara penting dalam Islam dan rukun-rukunnya selain haji.
وَقَدْ قَدَّمْنَا أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فُرِضَ
Dan telah kami sebutkan sebelumnya bahwa haji ketika itu belum diwajibkan.
وَفِيهِ اسْتِعَانَةُ الْعَالِمِ فِي تَفْهِيمِ الْحَاضِرِينَ وَالْفَهْمِ عَنْهُمْ بِبَعْضِ أَصْحَابِهِ كَمَا فعله بن عَبَّاسٍ رضي الله عنهما
Dan di dalamnya terdapat (dalil) bolehnya seorang alim meminta bantuan sebagian sahabatnya untuk menjelaskan kepada para hadirin dan untuk memahami (kondisi) mereka, sebagaimana yang dilakukan Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما.
وَقَدْ يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى أَنَّهُ يَكْفِي فِي التَّرْجَمَةِ فِي الْفَتْوَى وَالْخَبَرِ قَوْلٌ وَاحِدٌ
Dan bisa dijadikan dalil bahwa dalam penerjemahan fatwa dan berita, satu orang (penerjemah) saja sudah mencukupi.
وَفِيهِ اسْتِحْبَابُ قَوْلِ الرَّجُلِ لِزُوَّارِهِ وَالْقَادِمِينَ عَلَيْهِ مَرْحَبًا وَنَحْوَهُ
Dan di dalamnya terdapat anjuran seorang laki-laki untuk berkata kepada para tamu dan orang yang datang kepadanya: “Marhaban” (selamat datang), dan semisalnya.
وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِمْ إِينَاسًا وَبَسْطًا
Serta memuji mereka guna mengakrabkan dan melapangkan (hati mereka).
وَفِيهِ جَوَازُ الثَّنَاءِ عَلَى الْإِنْسَانِ فِي وَجْهِهِ إِذَا لَمْ يُخَفْ عَلَيْهِ فِتْنَةُ بِإِعْجَابٍ وَنَحْوِهِ
Dan di dalamnya terdapat bolehnya memuji seseorang di hadapannya jika tidak dikhawatirkan fitnah (ujub dan sejenisnya) atas dirinya.
وَأَمَّا اسْتِحْبَابُهُ فَيَخْتَلِفُ بِحَسَبِ الْأَحْوَالِ وَالْأَشْخَاصِ
Adapun dianjurkannya atau tidak, maka berbeda-beda menurut keadaan dan orangnya.
وَأَمَّا النَّهْيُ عَنِ الْمَدْحِ فِي الْوَجْهِ فَهُوَ فِي حَقِّ مَنْ يُخَافُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ بِمَا ذَكَرْنَاهُ
Adapun larangan memuji di hadapan orang, itu berlaku bagi orang yang dikhawatirkan terkena fitnah seperti yang telah kami sebutkan.
وَقَدْ مَدَحَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي مَوَاضِعَ كَثِيرَةٍ فِي الْوَجْهِ
Dan sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم telah memuji di hadapan (orang) di banyak tempat.
فَقَالَ صلى الله عليه وسلم لِأَبِي بَكْرٍ رضي الله عنه لَسْتَ مِنْهُمْ
Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Abu Bakar رضي الله عنه: “Engkau bukan termasuk mereka.”
وَقَالَ صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا بَكْرٍ لَا تَبْكِ إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبُو بَكْرٍ
Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Wahai Abu Bakar, jangan engkau menangis, sesungguhnya orang yang paling besar jasanya kepadaku dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar.”
وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا
“Seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil (kekasih khusus) dari umatku, niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai khalil.”
وَقَالَ لَهُ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ أَيْ مِنَ الَّذِينَ يُدْعَوْنَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ
Dan beliau bersabda kepadanya: “Dan aku berharap engkau termasuk dari mereka,” yakni dari orang-orang yang dipanggil dari pintu-pintu surga.
وَقَالَ صلى الله عليه وسلم ائذن له وبشره بالجنة
Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Izinkan dia masuk dan sampaikan kabar gembira surga kepadanya.”
وقال صلى الله عليه وسلم اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tetaplah tegak, wahai Uhud, karena di atasmu ada seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”
وَقَالَ صلى الله عليه وسلم دَخَلْتُ الْجَنَّةَ وَرَأَيْتُ قَصْرًا فَقُلْتُ لِمَنْ هَذَا قَالُوا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Aku masuk surga dan aku melihat sebuah istana. Maka aku bertanya: ‘Untuk siapa istana ini?’ Mereka menjawab: ‘Untuk ‘Umar bin al-Khaththab.’”
فَأَرَدْتُ أَنْ أَدْخُلَهُ فَذَكَرْتُ غَيْرَتَكَ
“Maka aku ingin memasukinya, namun aku teringat akan rasa cemburumu.”
فَقَالَ عُمَرُ رضي الله عنه بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعَلَيْكَ أَغَارُ
Maka ‘Umar رضي الله عنه berkata: “Demi ayah dan ibuku (engkau), wahai Rasulullah, apakah kepadamu aku berani cemburu?”
وَقَالَ لَهُ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ
Dan beliau bersabda kepadanya: “Tidaklah setan menjumpaimu menempuh suatu jalan, melainkan ia akan menempuh jalan lain yang bukan jalanmu.”
وَقَالَ صلى الله عليه وسلم افْتَحْ لِعُثْمَانَ وَبِشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bukakan (pintu) untuk ‘Utsman dan sampaikan kabar gembira surga kepadanya.”
وَقَالَ لِعَلِيٍّ رضي الله عنه أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ
Dan beliau bersabda kepada ‘Ali رضي الله عنه: “Engkau dariku dan aku darimu.”
وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى
Dan dalam hadits yang lain: “Tidakkah engkau ridha bahwa kedudukanmu dariku seperti kedudukan Harun dari Musa.”
وَقَالَ صلى الله عليه وسلم لِبِلَالٍ سَمِعْتُ دَقَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ
Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Bilal: “Aku telah mendengar suara sandalmu di surga.”
وَقَالَ صلى الله عليه وسلم لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَّامٍ أَنْتَ عَلَى الْإِسْلَامِ حَتَّى تَمُوتَ
Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda kepada ‘Abdullah bin Salam: “Engkau berada di atas Islam hingga engkau mati.”
وَقَالَ لِلْأَنْصَارِيِّ ضَحِكَ اللَّهُ عز وجل أَوْ عَجِبَ مِنْ فِعَالِكُمَا
Dan beliau bersabda kepada seorang Anshari: “Allah tertawa (meridhai) – atau: merasa takjub – terhadap perbuatan kalian berdua.”
وَقَالَ لِلْأَنْصَارِ أَنْتُمْ مِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ
Dan beliau bersabda kepada kaum Anshar: “Kalian adalah di antara manusia yang paling aku cintai.”
وَنَظَائِرُ هَذَا كَثِيرَةٌ مِنْ مَدْحِهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْوَجْهِ
Dan padanan-padanannya banyak berupa pujian beliau صلى الله عليه وسلم di hadapan orang.
وَأَمَّا مَدْحُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالْأَئِمَّةِ الَّذِينَ يُقْتَدَى بِهِمْ رضي الله عنهم أَجْمَعِينَ فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يُحْصَرَ
Adapun pujian terhadap para sahabat, tabi’in, dan generasi setelah mereka dari kalangan ulama dan imam yang dijadikan teladan – semoga Allah meridhai mereka semua – jumlahnya lebih banyak daripada dapat dibatasi.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan Allah lebih mengetahui.
وَفِي حَدِيثِ الْبَابِ مِنَ الْفَوَائِدِ أَنَّهُ لَا عَتَبَ عَلَى طَالِبِ الْعِلْمِ وَالْمُسْتَفْتِي إِذَا قَالَ لِلْعَالِمِ أَوْضِحْ لِيَ الْجَوَابَ وَنَحْوَ هَذِهِ الْعِبَارَةِ
Dan di antara faidah yang terdapat dalam hadits bab ini adalah bahwa tidak ada cela bagi penuntut ilmu dan peminta fatwa bila berkata kepada alim: “Jelaskanlah jawabannya kepada saya,” dan ungkapan yang semisalnya.
وَفِيهِ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِقَوْلِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ الشَّهْرِ
Dan di dalamnya terdapat (dalil) bahwa tidak mengapa mengucapkan “Ramadhan” tanpa menyebut kata “bulan”.
وَفِيهِ جَوَازُ مُرَاجَعَةِ الْعَالِمِ عَلَى سَبِيلِ الِاسْتِرْشَادِ وَالِاعْتِذَارِ
Dan di dalamnya terdapat bolehnya mengulang pertanyaan kepada alim dalam rangka mencari bimbingan dan menyampaikan alasan.
لِيَتَلَطَّفَ لَهُ فِي جَوَابٍ لَا يَشُقُّ عَلَيْهِ
Agar sang alim bersikap lembut kepadanya dalam memberi jawaban yang tidak memberatkan dirinya.
وَفِيهِ تَأْكِيدُ الْكَلَامِ وَتَفْخِيمِهِ لِيَعْظُمَ وَقْعُهُ فِي النَّفْسِ
Dan di dalamnya terdapat (dalil) diperbolehkannya menegaskan dan mengagungkan ucapan agar pengaruhnya dalam jiwa menjadi besar.
وَفِيهِ جَوَازُ قَوْلِ الْإِنْسَانِ لِمُسْلِمٍ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاكَ
Dan di dalamnya terdapat bolehnya seseorang berkata kepada seorang muslim: “Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusan bagimu.”
فَهَذِهِ أَطْرَافٌ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِهَذَا الْحَدِيثِ
Maka ini adalah beberapa sisi (pembahasan) yang berkaitan dengan hadits ini.
وَهِيَ وَإِنْ كَانَتْ طَوِيلَةً فَهِيَ مُخْتَصَرَةٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَى طَالِبِي التَّحْقِيقِ
Dan sekalipun ia tampak panjang, namun ia tetap ringkas bagi para penuntut tahqiq (penelitian mendalam).
وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ وَبِهِ التَّوْفِيقُ وَالْعِصْمَةُ
Dan Allah lebih mengetahui; bagi-Nya segala puji dan karunia, dan dengan-Nya taufik serta penjagaan (terlaksana).
---
(باب الدُّعَاءِ إِلَى الشَّهَادَتَيْنِ وَشَرَائِعِ الْإِسْلَامِ فِيهِ بَعْثِ مُعَاذٍ إِلَى الْيَمَنِ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي الصَّحِيحَيْنِ)
(Bab: Seruan kepada dua kalimat syahadat dan syariat-syariat Islam; di dalamnya terdapat pengutusan Mu’adz ke Yaman, dan ia adalah hadits yang disepakati dalam ash-Shahihain).
قَوْلُهُ (عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مُعَاذٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وربما قال وكيع عن بن عَبَّاسٍ أَنَّ مُعَاذًا قَالَ)
Ucapannya: (“Dari Abu Ma’bad dari Ibnu ‘Abbas dari Mu’adz; Abu Bakr berkata: dan kadang-kadang Waki’ berkata: dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Mu’adz berkata…”).
هَذَا الَّذِي فَعَلَهُ مُسْلِمٌ رحمه الله نِهَايَةُ التَّحْقِيقِ وَالِاحْتِيَاطِ وَالتَّدْقِيقِ
Apa yang dilakukan Muslim رحمه الله ini merupakan puncak ketelitian, kehati-hatian, dan kedetailan.
فَإِنَّ الرِّوَايَةَ الْأُولَى قَالَ فِيهَا عَنْ مُعَاذٍ والثانية أن معاذا
Sebab dalam riwayat pertama ia berkata: “dari Mu’adz”, sedangkan dalam riwayat kedua: “bahwa Mu’adz (berkata)”.
وَبَيْنَ أن وعن فَرْقٌ
Dan antara lafaz *anna* dan *‘an* terdapat perbedaan.
فَإِنَّ الْجَمَاهِيرَ قَالُوا أَنَّ كَعَنْ فَيُحْمَلُ عَلَى الِاتِّصَالِ
Karena mayoritas ulama berkata: *anna* seperti *‘an*, maka dibawa kepada (makna) bersambung (bersanad muttasil).
وَقَالَ جَمَاعَةٌ لَا تَلْتَحِقُ أَنَّ بِعَنْ بَلْ تُحْمَلُ أَنَّ عَلَى الِانْقِطَاعِ وَيَكُونُ مُرْسَلًا
Sedangkan sekelompok ulama lain berkata: *anna* tidak bisa disamakan dengan *‘an*, bahkan *anna* dibawa kepada (makna) terputus (inqitha’), sehingga ia menjadi mursal.
وَلَكِنَّهُ هُنَا يَكُونُ مُرْسَلَ صَحَابِيٍّ لَهُ حُكْمُ الْمُتَّصِلِ عَلَى الْمَشْهُورِ مِنْ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ
Namun di sini ia menjadi mursal sahabi yang hukumnya seperti muttasil menurut pendapat masyhur dalam mazhab para ulama.
وَفِيهِ قَوْلُ الْأُسْتَاذِ أَبِي إِسْحَاقَ الْإِسْفَرَايِنِيِّ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ فِي الْفُصُولِ أَنَّهُ لَا يُحْتَجُّ بِهِ
Namun dalam hal ini terdapat pendapat al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfarayini – yang telah kami sebutkan dalam *al-Fushul* – bahwa (mursal sahabi) tidak bisa dijadikan hujjah.
فَاحْتَاطَ مُسْلِمٌ رحمه الله وَبَيَّنَ اللَّفْظَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Maka Muslim رحمه الله bersikap hati-hati dan menjelaskan kedua lafaz itu. Dan Allah lebih mengetahui.
وَأَمَّا أَبُو مَعْبَدٍ فَاسْمُهُ نَافِذٌ بِالنُّونِ والفاء والذال المعجمة
Adapun Abu Ma’bad, namanya adalah Nafidz, dengan nun, fa’, dan dzal bertitik.
وهو مولى بن عَبَّاسٍ
Ia adalah maula (budak yang dimerdekakan) Ibnu ‘Abbas.
قَالَ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ كَانَ مِنْ أصدق موالى بن عَبَّاسٍ رضي الله عنهما
‘Amr bin Dinar berkata: Ia adalah salah satu maula Ibnu ‘Abbas yang paling jujur.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الكتاب)
Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: (“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab”).
فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ
“Maka serulah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah.”
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
“Jika mereka telah taat (menerima) hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah Ta’ala telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu pada setiap siang dan malam.”
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً
“Jika mereka telah taat terhadap hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat.”
تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ
“Yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.”
فَإِنْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ
“Jika mereka telah taat terhadap hal itu, maka jauhilah (olehmu) harta-harta terbaik mereka (dalam mengambil zakat).”
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ
“Dan takutlah terhadap doa orang yang dizalimi.”
فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ)
“Karena tidak ada penghalang antara doa tersebut dan (kabul) dari Allah.”
أَمَّا الْكَرَائِمُ فَجَمْعُ كَرِيمَةٍ
Adapun *al-karaa’im* adalah jamak dari *kariimah*.
قَالَ صَاحِبُ الْمَطَالِعِ هِيَ جَامِعَةُ الْكَمَالِ الْمُمْكِنِ فِي حَقِّهَا مِنْ غَزَارَةِ لَبَنٍ وَجَمَالِ صُورَةٍ أَوْ كَثْرَةِ لَحْمٍ أَوْ صُوفٍ
Penulis *al-Mathali’* berkata: Ia adalah (hewan) yang menghimpun kesempurnaan yang mungkin padanya, berupa banyaknya susu, bagusnya bentuk, atau banyaknya daging atau bulu.
وَهَكَذَا الرِّوَايَةُ فَإِيَّاكَ وكرائم بالواو في قوله وكرائم
Dan demikian pula riwayatnya: *fa iyyaaka wa karaaa’ima* dengan huruf wawu pada ucapannya *wa karaaim*.
قال بن قُتَيْبَةَ وَلَا يَجُوزُ إِيَّاكَ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ بِحَذْفِهَا
Ibnu Qutaibah berkata: Tidak boleh (dibaca) *iyyaka karaa’ima amwaalihim* dengan menjatuhkan wawu (yakni tanpa *wa*).
وَمَعْنَى لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ أَيْ أَنَّهَا مَسْمُوعَةٌ لَا تُرَدُّ
Dan makna “tidak ada penghalang antara doa itu dan Allah” adalah: Doa itu didengar dan tidak ditolak.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ قَبُولُ خَبَرِ الْوَاحِدِ وَوُجُوبِ الْعَمَلِ بِهِ
Dan dalam hadits ini terdapat (dalil) diterimanya khabar ahad dan wajibnya beramal dengannya.
وَفِيهِ أَنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ
Dan di dalamnya terdapat (dalil) bahwa witir bukanlah wajib.
لِأَنَّ بَعْثَ مُعَاذٍ إِلَى الْيَمَنِ كَانَ قَبْلَ وَفَاةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِقَلِيلٍ بَعْدَ الْأَمْرِ بِالْوِتْرِ وَالْعَمَلِ بِهِ
Karena pengutusan Mu’adz ke Yaman terjadi tidak lama sebelum wafat Nabi صلى الله عليه وسلم, setelah perintah melaksanakan witir dan pengamalan terhadapnya.
وَفِيهِ أَنَّ السُّنَّةَ أَنَّ الْكُفَّارَ يُدْعَوْنَ إِلَى التَّوْحِيدِ قَبْلَ الْقِتَالِ
Dan di dalamnya terdapat (dalil) bahwa sunnahnya adalah orang-orang kafir diseru kepada tauhid sebelum diperangi.
وَفِيهِ أَنَّهُ لَا يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ إِلَّا بِالنُّطْقِ بِالشَّهَادَتَيْنِ
Dan di dalamnya terdapat (dalil) bahwa seseorang tidak dihukumi masuk Islam kecuali dengan melafalkan dua kalimat syahadat.
وَهَذَا مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ كَمَا قَدَّمْنَا بَيَانَهُ فِي أَوَّلِ كِتَابِ الْإِيمَانِ
Dan ini adalah mazhab Ahlus Sunnah, sebagaimana telah kami jelaskan di awal Kitab al-Iman.
وَفِيهِ أَنَّ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ تَجِبُ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
Dan di dalamnya terdapat (dalil) bahwa shalat lima waktu wajib pada setiap hari dan malam.
وَفِيهِ بَيَانُ عِظَمِ تَحْرِيمِ الظُّلْمِ
Dan di dalamnya terdapat penjelasan besarnya keharaman kezaliman.
وَأَنَّ الْإِمَامَ يَنْبَغِي أَنْ يَعِظَ وُلَاتَهُ وَيَأْمُرَهُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ تَعَالَى
Dan bahwa seorang imam seharusnya menasihati para bawahannya dan memerintahkan mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala.
وَيُبَالِغَ فِي نَهْيِهِمْ عَنِ الظُّلْمِ
Dan hendaknya ia sangat menekankan larangan kepada mereka dari perbuatan zalim.
وَيُعَرِّفَهُمْ قُبْحَ عَاقِبَتِهِ
Serta menjelaskan kepada mereka buruknya akibat kezaliman.
وَفِيهِ أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى السَّاعِي أَخْذَ كَرَائِمِ الْمَالِ فِي أَدَاءِ الزَّكَاةِ بَلْ يَأْخُذُ الْوَسَطَ
Dan di dalamnya terdapat (dalil) bahwa haram bagi petugas zakat mengambil harta terbaik dalam pembayaran zakat, tetapi hendaknya ia mengambil yang pertengahan.
وَيَحْرُمُ عَلَى رَبِّ الْمَالِ إِخْرَاجُ شَرِّ الْمَالِ
Dan haram bagi pemilik harta mengeluarkan yang terjelek dari hartanya.
وَفِيهِ أَنَّ الزَّكَاةَ لَا تُدْفَعُ إِلَى كَافِرٍ
Dan di dalamnya terdapat (dalil) bahwa zakat tidak diberikan kepada orang kafir.
وَلَا تُدْفَعُ أَيْضًا إِلَى غَنِيٍّ مِنْ نَصِيبِ الْفُقَرَاءِ
Dan juga tidak diserahkan kepada orang kaya dari bagian (zakat) para fakir.
وَاسْتَدَلَّ بِهِ الْخَطَّابِيُّ وَسَائِرُ أَصْحَابِنَا عَلَى أَنَّ الزَّكَاةَ لَا يَجُوزُ نَقْلُهَا عَنْ بَلَدِ الْمَالِ
Al-Khaththabi dan para sahabat (mazhab) kami yang lain berdalil dengannya bahwa zakat tidak boleh dipindahkan dari negeri tempat harta itu berada.
لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ
Berdasarkan sabda beliau صلى الله عليه وسلم: “Lalu dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.”
وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ لَيْسَ بِظَاهِرٍ
Namun istidlal (pengambilan dalil) seperti ini tidaklah tampak kuat.
لِأَنَّ الضَّمِيرَ فِي فُقَرَائِهِمْ مُحْتَمِلٌ لِفُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَلِفُقَرَاءِ أَهْلِ تِلْكَ الْبَلْدَةِ وَالنَّاحِيَةِ
Karena dhamir pada kata *fukaraa’ihim* berpotensi kembali kepada fakir-fakir kaum muslimin secara umum atau fakir-fakir penduduk negeri dan wilayah tersebut secara khusus.
وَهَذَا الِاحْتِمَالُ أَظْهَرُ
Dan kemungkinan yang kedua ini lebih tampak kuat.
وَاسْتَدَلَّ بِهِ بَعْضُهُمْ عَلَى أَنَّ الْكُفَّارَ لَيْسُوا بِمُخَاطَبِينَ بِفُرُوعِ الشَّرِيعَةِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ والزكاة وتحريم الزنى وَنَحْوِهَا
Dan sebagian ulama berdalil dengannya bahwa orang-orang kafir tidak dibebani (tidak mukhatab) dengan cabang-cabang syariat seperti shalat, puasa, zakat, pengharaman zina, dan semisalnya.
لِكَوْنِهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ
Karena beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika mereka telah taat terhadap hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa atas mereka (kewajiban ini dan itu).”
فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ إِذَا لَمْ يُطِيعُوا لَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ
Maka (menurut mereka) ini menunjukkan bahwa jika mereka tidak taat, kewajiban itu tidak berlaku atas mereka.
وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ ضَعِيفٌ
Namun istidlal ini lemah.
فَإِنَّ الْمُرَادَ أَعْلِمْهُمْ أَنَّهُمْ مُطَالَبُونَ بِالصَّلَوَاتِ وَغَيْرِهَا فِي الدُّنْيَا
Karena yang dimaksud adalah: “Beritahukan kepada mereka bahwa mereka akan dituntut (ditagih) dengan shalat dan selainnya di dunia.”
وَالْمُطَالَبَةُ فِي الدُّنْيَا لَا تَكُونُ إِلَّا بَعْدَ الْإِسْلَامِ
Dan tuntutan di dunia itu tidak terjadi kecuali setelah masuk Islam.
وَلَيْسَ يَلْزَمُ مِنْ ذَلِكَ أَنْ لَا يَكُونُوا مُخَاطَبِينَ بِهَا يُزَادُ فِي عَذَابِهِمْ بِسَبَبِهَا فِي الْآخِرَةِ
Dan dari sini tidak mesti berarti bahwa mereka tidak dibebani (di syariat) dengan itu, yang karenanya siksa mereka akan ditambah di akhirat.
وَلِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم رَتَّبَ ذَلِكَ فِي الدُّعَاءِ إِلَى الْإِسْلَامِ وَبَدَأَ بِالْأَهَمِّ فَالْأَهَمِّ
Dan juga karena beliau صلى الله عليه وسلم menyusun hal itu dalam rangkaian dakwah kepada Islam, dimulai dari yang paling penting lalu yang penting berikutnya.
أَلَا تَرَاهُ بَدَأَ صلى الله عليه وسلم بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الزَّكَاةِ
Tidakkah engkau lihat bahwa beliau صلى الله عليه وسلم memulai dengan shalat sebelum zakat?
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ إِنَّهُ يَصِيرُ مُكَلَّفًا بِالصَّلَاةِ دُونَ الزَّكَاةِ
Dan tidak ada seorang pun yang berkata bahwa seorang menjadi mukallaf hanya dengan shalat tanpa (kewajiban) zakat.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan Allah lebih mengetahui.
ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ الْمُخْتَارَ أَنَّ الْكُفَّارَ مُخَاطَبُونَ بِفُرُوعِ الشَّرِيعَةِ الْمَأْمُورِ بِهِ وَالْمَنْهِيِّ عَنْهُ
Kemudian ketahuilah bahwa pendapat yang terpilih adalah bahwa orang-orang kafir juga dibebani dengan cabang-cabang syariat, baik yang berupa perintah maupun larangan.
هَذَا قَوْلُ الْمُحَقِّقِينَ وَالْأَكْثَرِينَ
Ini adalah pendapat para peneliti (ahli tahqiq) dan mayoritas ulama.
وَقِيلَ لَيْسُوا مُخَاطَبِينَ بِهَا
Dan dikatakan (oleh sebagian): mereka tidak dibebani dengannya.
وَقِيلَ مُخَاطَبُونَ بِالْمَنْهِيِّ دُونَ الْمَأْمُورِ
Dan dikatakan: mereka hanya dibebani dengan larangan, bukan perintah.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan Allah lebih mengetahui.
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بْنُ الصَّلَاحِ رحمه الله هَذَا الَّذِي وَقَعَ فِي حَدِيثِ مُعَاذٍ مِنْ ذِكْرِ بَعْضِ دَعَائِمِ الْإِسْلَامِ دُونَ بَعْضِ
Syaikh Abu ‘Amr bin ash-Shalah رحمه الله berkata: Penyebutan sebagian pilar Islam tanpa sebagian yang lain dalam hadits Mu’adz ini,
هُوَ مِنْ تَقْصِيرِ الرَّاوِي
adalah karena kekurangan dari sisi perawi.
كَمَا بَيَّنَّاهُ فِيمَا سَبَقَ مِنْ نَظَائِرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Sebagaimana telah kami jelaskan dalam contoh-contoh sebelumnya. Dan Allah lebih mengetahui.
قوله (فى الرواية الثانية حدثنا بن أَبِي عُمَرَ)
Ucapannya: (“Dalam riwayat kedua: telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar”).
هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبِي عُمَرَ الْعَدَنِيُّ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ سَكَنَ مَكَّةَ
Ia adalah Muhammad bin Yahya bin Abi ‘Umar al-‘Adani, Abu ‘Abdillah, yang tinggal di Makkah.
وَفِيهَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ هُوَ الْإِمَامُ الْمَعْرُوفُ صَاحِبُ الْمُسْنَدِ يُكَنَى أَبَا مُحَمَّدٍ
Dan dalamnya terdapat (perawi): ‘Abd bin Humaid, ia adalah imam yang masyhur, pemilik *al-Musnad*, berkunyah Abu Muhammad.
قِيلَ اسْمُهُ عَبْدُ الْحَمِيدِ
Dikatakan bahwa nama aslinya adalah ‘Abdul Hamid.
وَفِيهَا أَبُو عَاصِمٍ هُوَ النبيل الضحاك بن مخلد
Dan dalamnya (juga) ada Abu ‘Ashim; ia adalah an-Nabil adh-Dhahhak bin Makhlad.
قوله (عن بن عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ مُعَاذًا)
Ucapannya: (“Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم telah mengutus Mu’adz”).
هَذَا اللَّفْظُ يَقْتَضِي أَنَّ الْحَدِيثَ من مسند بن عَبَّاسٍ
Lafaz ini menunjukkan bahwa hadits ini termasuk Musnad Ibnu ‘Abbas.
وَكَذَلِكَ الرِّوَايَةُ الَّتِي بَعْدَهُ
Demikian pula riwayat setelahnya.
وَأَمَّا الْأُولَى فَمِنْ مُسْنَدِ مُعَاذٍ
Adapun riwayat yang pertama, ia termasuk Musnad Mu’adz.
وَوَجْهُ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا أَنْ يكون بن عَبَّاسٍ سَمِعَ الْحَدِيثَ مِنْ مُعَاذٍ
Cara menggabungkan keduanya adalah bahwa Ibnu ‘Abbas mendengar hadits ini dari Mu’adz,
فَرَوَاهُ تَارَةً عَنْهُ مُتَّصِلًا وَتَارَةً أَرْسَلَهُ فَلَمْ يَذْكُرْ مُعَاذًا
maka kadang ia meriwayatkannya darinya secara bersambung, dan kadang ia mengirimkannya (mursal) sehingga tidak menyebut Mu’adz.
وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ
Dan kedua bentuk itu shahih.
كَمَا قَدَّمْنَاهُ أَنَّ مُرْسَلَ الصَّحَابِيِّ إِذَا لَمْ يُعْرَفِ الْمَحْذُوفُ يَكُونُ حُجَّةً
Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya bahwa mursal sahabi, jika yang terhapus (dari sanad) tidak diketahui, tetap menjadi hujjah.
فَكَيْفَ وَقَدْ عَرَفْنَاهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّهُ مُعَاذٌ
Terlebih lagi di sini, kita telah mengetahui bahwa (perawi yang dihapus itu) adalah Mu’adz.
ويحتمل ان بن عَبَّاسٍ سَمِعَهُ مِنْ مُعَاذٍ وَحَضَرَ الْقَضِيَّةَ
Dan mungkin juga Ibnu ‘Abbas mendengarnya dari Mu’adz dan ia menghadiri langsung peristiwa itu.
فَتَارَةً رَوَاهَا بِلَا وَاسِطَةٍ لِحُضُورِهِ إِيَّاهَا
Maka terkadang ia meriwayatkannya tanpa perantara karena ia menyaksikannya sendiri.
وَتَارَةً رَوَاهَا عَنْ مُعَاذٍ إِمَّا لِنِسْيَانِهِ الْحُضُورَ وَإِمَّا لِمَعْنًى آخَرَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan terkadang ia meriwayatkannya dari Mu’adz, baik karena lupa pernah hadir, atau karena alasan lain. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ (حَدَّثَنَا أُمَيَّةُ بْنُ بِسْطَامَ الْعَيْشِيُّ)
Ucapannya: (“Telah menceritakan kepada kami Umayyah bin Bishtam al-‘Aishi”).
أَمَّا بِسْطَامُ فَبِكَسْرِ الْبَاءِ الْمُوَحَّدَةِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ
Adapun *Bisthām*, huruf ba’-nya dikasrah, dan inilah yang masyhur.
وَحَكَى صَاحِبُ الْمَطَالِعِ أَيْضًا فَتْحَهَا
Namun penulis *al-Mathali’* juga menukil bacaan dengan fathah (pada ba’).
وَاخْتُلِفَ فِي صَرْفِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ صَرَفَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَصْرِفْهُ
Dan terjadi perbedaan pendapat apakah ia *munsharif* (bisa ditanwin) atau tidak; sebagian men-tashrif-nya dan sebagian tidak.
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بْنُ الصَّلَاحِ رحمه الله بِسْطَامُ عَجَمِيٌّ لَا يَنْصَرِفُ
Syaikh Abu ‘Amr bin ash-Shalah رحمه الله berkata: *Bisthām* adalah nama ajam (non-Arab) yang tidak dinsharafkan.
قَالَ بن دُرَيْدٍ لَيْسَ مِنْ كَلَامِ الْعَرَبِ
Ibnu Durayd berkata: “Ia bukan bagian dari kosakata orang Arab.”
قَالَ وَوَجَدْتُهُ في كتاب بن الْجَوَالِيقِيِّ فِي الْمُعَرَّبِ مَصْرُوفًا وَهُوَ بَعِيدٌ
Ia berkata: “Aku dapati di kitab Ibnu al-Jawaliqi, *al-Mu’arrab*, bahwa ia dinsharafkan (ditanwin), dan ini jauh (lemah).”
هَذَا كَلَامُ الشَّيْخِ أَبِي عَمْرٍو
Ini adalah ucapan Syaikh Abu ‘Amr.
وَقَالَ الْجَوْهَرِيُّ فِي الصِّحَاحِ بِسْطَامُ لَيْسَ مِنْ أَسْمَاءِ الْعَرَبِ
Al-Jauhari berkata dalam *ash-Shihah*: “*Bisthām* bukan termasuk nama-nama Arab.”
وَإِنَّمَا سَمَّى قَيْسُ بْنُ مَسْعُودٍ ابْنَهُ بِسْطَامًا بِاسْمِ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ فَارِسَ
“Hanyasanya Qais bin Mas’ud menamai anaknya Bisthām dengan nama seorang raja dari raja-raja Persia.”
كَمَا سَمَّوْا قَابُوسَ فَعَرَّبُوهُ بِكَسْرِ الْبَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Sebagaimana mereka menamai (juga) Qaabus, lalu mereka Arabkan dengan mengkasrahkan ba’-nya.” Dan Allah lebih mengetahui.
وَأَمَّا الْعَيْشِيُّ فَبِالشِّينِ الْمُعْجَمَةِ
Adapun *al-‘Aishi* maka (ditulis dengan) syin bertitik (*ش*).
وَهُوَ مَنْسُوبٌ إِلَى بَنِي عَايِشِ بْنِ مَالِكِ بْنِ تَيْمِ اللَّهِ بْنِ ثَعْلَبَةَ
Ia adalah nisbat kepada Bani ‘Aayisy bin Malik bin Taymullah bin Ts’labah.
وَكَانَ أَصْلُهُ الْعَايِشِيُّ وَلَكِنَّهُمْ خَفَّفُوهُ
Asalnya adalah *al-‘Aayishi*, namun mereka meringankannya menjadi *al-‘Aishi*.
قَالَ الْحَاكِمُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ وَالْخَطِيبُ أَبُو بَكْرٍ الْبَغْدَادِيُّ الْعَيْشِيُّونَ بِالشِّينِ الْمُعْجَمَةِ بَصْرِيُّونَ
Al-Hakim Abu ‘Abdillah dan al-Khathib Abu Bakr al-Baghdadi berkata: “al-‘Aishiyyun dengan syin bertitik adalah penduduk Bashrah.”
وَالْعَبْسِيُّونَ بِالْبَاءِ الْمُوَحَّدَةِ وَالسِّينِ الْمُهْمَلَةِ كُوفِيُّونَ
“Sedangkan al-‘Absiyyun, dengan ba’ dan sin tidak bertitik, adalah penduduk Kufah.”
وَالْعَنْسِيُّونَ بِالنُّونِ وَالسِّينِ الْمُهْمَلَةِ شَامِيُّونَ
“Dan al-‘Ansiyyun, dengan nun dan sin tidak bertitik, adalah penduduk Syam.”
وَهَذَا الَّذِي قَالَاهُ هُوَ الْغَالِبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan apa yang mereka katakan itulah yang berlaku umum. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ إِلَى آخِرِهِ)
Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: (“Maka hendaklah yang pertama kali engkau seru mereka kepadanya adalah ibadah kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, maka beritahukan kepada mereka…” hingga akhir haditsnya).
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رحمه الله هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمْ لَيْسُوا بِعَارِفِينَ اللَّهَ تَعَالَى
Qadhi ‘Iyadh رحمه الله berkata: Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal Allah Ta’ala.
وَهُوَ مَذْهَبُ حُذَّاقِ الْمُتَكَلِّمِينَ فِي الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى أَنَّهُمْ غَيْرُ عَارِفِينَ اللَّهَ تَعَالَى
Dan ini adalah mazhab para ahli kalam yang cermat, bahwa Yahudi dan Nasrani tidaklah mengenal Allah Ta’ala.
وَإِنْ كَانُوا يَعْبُدُونَهُ وَيُظْهِرُونَ مَعْرِفَتَهُ لِدَلَالَةِ السَّمْعِ عِنْدَهُمْ عَلَى هَذَا
Meskipun mereka beribadah kepada-Nya dan menampakkan pengakuan mengenal-Nya, berdasarkan dalil dari sisi naql (nash) menurut mereka.
وَإِنْ كَانَ الْعَقْلُ لَا يَمْنَعُ أَنْ يَعْرِفَ اللَّهُ تَعَالَى مَنْ كَذَّبَ رَسُولًا
Meskipun akal secara teori tidak melarang kemungkinan bahwa seseorang yang mendustakan seorang rasul mengenal Allah Ta’ala.
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رحمه الله مَا عَرَفَ اللَّهَ تَعَالَى مَنْ شَبَّهَهُ وَجَسَّمَهُ مِنَ الْيَهُودِ
Qadhi ‘Iyadh رحمه الله berkata: Tidaklah mengenal Allah Ta’ala orang yang menyerupakan-Nya dan menjisimkan-Nya dari kalangan Yahudi.
أَوْ أَجَازَ عَلَيْهِ الْبِدَاءَ أَوْ أَضَافَ إِلَيْهِ الْوَلَدَ مِنْهُمْ
Atau yang membolehkan atas-Nya *al-bidaa’* (perubahan kehendak), atau menyandarkan kepada-Nya anak, dari kalangan mereka.
أَوْ أَضَافَ إِلَيْهِ الصَّاحِبَةَ وَالْوَلَدَ وَأَجَازَ الْحُلُولَ عَلَيْهِ وَالِانْتِقَالَ والامتزاج من النصارى
Atau menyandarkan kepada-Nya istri dan anak, dan membolehkan Allah bersemayam pada makhluk, berpindah, dan bercampur dengan makhluk – dari kalangan Nasrani.
أو وصفه مما لَا يَلِيقُ بِهِ أَوْ أَضَافَ إِلَيْهِ الشَّرِيكَ وَالْمُعَانِدَ فِي خَلْقِهِ مِنَ الْمَجُوسِ والثَّنَوِيَّةِ
Atau ia mensifati-Nya dengan sesuatu yang tidak layak bagi-Nya, atau menyandarkan kepada-Nya sekutu dan lawan tandingan dalam penciptaan, dari kalangan Majusi dan Tsanawiyyah (penganut dua tuhan).
فَمَعْبُودُهُمُ الَّذِي عَبَدُوهُ لَيْسَ هُوَ اللَّهَ وَإِنْ سَمَّوْهُ بِهِ
Maka sesembahan yang mereka sembah itu bukanlah Allah, sekalipun mereka menamainya dengan Nama-Nya.
إِذْ لَيْسَ مَوْصُوفًا بِصِفَاتِ الْإِلَهِ الْوَاجِبَةِ لَهُ
Karena sesembahan itu tidak bersifat dengan sifat-sifat ilah yang wajib bagi-Nya.
فَإِذَنْ مَا عَرَفُوا اللَّهَ سُبْحَانَهُ
Maka dengan demikian, mereka tidak mengenal Allah سبحانه.
فَتَحَقَّقْ هَذِهِ النُّكْتَةَ وَاعْتَمِدْ عَلَيْهَا
Maka pastikan (pahami betul) poin penting ini dan berpeganglah padanya.
وَقَدْ رَأَيْتُ مَعْنَاهَا لِمُتَقَدِّمِي أَشْيَاخِنَا
Dan aku telah melihat makna ini ada pada kalangan senior guru-guru kami terdahulu.
وَبِهَا قَطَعَ الْكَلَامَ ابوعمران الْفَارِسِيُّ بَيْنَ عَامَّةِ أَهْلِ الْقَيْرَوَانِ عِنْدَ تَنَازُعِهِمْ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ
Dan dengan poin ini Abu ‘Imran al-Farisi mengakhiri perdebatan di tengah mayoritas penduduk Qairawan ketika mereka berselisih dalam masalah ini.
هَذَا آخِرُ كَلَامِ الْقَاضِي رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى
Ini adalah akhir perkataan Qadhi (Iyadh), semoga Allah Ta’ala merahmatinya.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم فِي الرِّوَايَةِ الْأَخِيرَةِ (فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ)
Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم dalam riwayat terakhir: (“Maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil dari harta-harta mereka”).
قَدْ يُسْتَدَلُّ بِلَفْظَةِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ عَلَى أَنَّهُ إِذَا امْتَنَعَ مِنَ الزَّكَاةِ أُخِذَتْ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ اختياره
Bisa saja dijadikan dalil dengan lafaz “dari harta-harta mereka” bahwa apabila seseorang enggan menunaikan zakat, maka zakat itu diambil dari hartanya tanpa persetujuannya.
وهذا الحكم لاخلاف فِيهِ
Dan hukum ini tidak ada khilaf (di kalangan ulama).
وَلَكِنْ هَلْ تَبْرَأُ ذِمَّتُهُ وَيَجْزِيهِ ذَلِكَ فِي الْبَاطِنِ فِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Namun apakah gugur tanggungannya dan mencukupi baginya di sisi batin (di hadapan Allah), dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan sahabat (mazhab) kami. Dan Allah lebih mengetahui.
Komentar
Posting Komentar