Penjelasan Iman, Islam, dan Ihsan #3

قال الْخَطَّابِيُّ وَقَدْ يَحْسَبُ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ أَنَّ معنى القضاء شرح النووي على مسلم - جـ ١(ص: ١٥٥) وَالْقَدَرِ إِجْبَارُ اللَّهِ سبحانه وتعالى الْعَبْدَ وَقَهْرُهُ عَلَى مَا قَدَّرَهُ وَقَضَاهُ
Al-Khaththabi berkata: Banyak orang mengira bahwa makna qadha dan qadar adalah Allah *Subhanahu wa Ta'ala* memaksa hamba dan memaksa (secara zalim) hamba atas apa yang Dia tetapkan dan putuskan.
وَلَيْسَ الْأَمْرُ كَمَا يَتَوَهَّمُونَهُ
Padahal kenyataannya tidak sebagaimana yang mereka sangka.
وَإِنَّمَا مَعْنَاهُ الْإِخْبَارُ عَنْ تَقَدُّمِ عِلْمِ اللَّهِ سبحانه وتعالى بِمَا يَكُونُ مِنَ اكْتِسَابِ الْعَبْدِ
Sesungguhnya maknanya hanyalah pemberitaan tentang telah terdahulunya ilmu Allah *Subhanahu wa Ta'ala* terhadap apa yang akan terjadi dari perolehan (perbuatan) hamba.
وَصُدُورِهَا عَنْ تَقْدِيرٍ مِنْهُ وَخَلَقَ لَهَا خَيْرَهَا وَشَرَّهَا
Dan bahwa perbuatan-perbuatan itu muncul berdasarkan ketetapan dari-Nya. Serta Dia menciptakan bagi perbuatan itu kebaikannya dan keburukannya.
قَالَ وَالْقَدَرُ اسْمٌ لِمَا صَدَرَ مُقَدَّرًا عَنْ فِعْلِ الْقَادِرِ
Ia berkata: Qadar adalah nama bagi sesuatu yang muncul dalam keadaan telah ditetapkan dari perbuatan Dzat Yang Maha Kuasa.
يُقَالُ قَدَرْتُ الشَّيْءَ وَقَدَّرْتُهُ بِالتَّخْفِيفِ وَالتَّثْقِيلِ بِمَعْنًى وَاحِدٍ
Dikatakan: qadar-tu asy-syai'a dan qaddar-tuhu, dengan (membaca) ringan dan berat, keduanya dengan satu makna.
وَالْقَضَاءُ فِي هَذَا مَعْنَاهُ الْخَلْقُ كَقَوْلِهِ تَعَالَى فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سماوات فى يومين أَيْ خَلَقَهُنَّ
Adapun qadha dalam konteks ini maknanya adalah penciptaan. Seperti firman-Nya Ta'ala: "Maka Dia menyempurnakan mereka menjadi tujuh langit dalam dua hari," yaitu Dia menciptakan mereka.
قُلْتُ وَقَدْ تَظَاهَرَتِ الْأَدِلَّةُ الْقَطْعِيَّاتُ مِنَ الْكِتَابِ وِالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ وَأَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ عَلَى إِثْبَاتِ قَدَرِ اللَّهِ سبحانه وتعالى
Aku (Imam Nawawi) berkata: Telah bersepakat dalil-dalil yang pasti dari Al-Qur'an, Sunnah, ijma' para sahabat, dan ijma' Ahlul Halli wal 'Aqd dari kalangan salaf dan khalaf, atas penetapan takdir Allah *Subhanahu wa Ta'ala*.
وَقَدْ أَكْثَرَ الْعُلَمَاءُ مِنَ التَّصْنِيفِ فِيهِ
Para ulama telah banyak menulis kitab dalam masalah ini.
وَمِنْ أَحْسَنِ الْمُصَنَّفَاتِ فِيهِ وَأَكْثَرِهَا فَوَائِدَ كِتَابُ الْحَافِظِ الْفَقِيهِ أَبِي بَكْرٍ الْبَيْهَقِيِّ رضي الله عنه
Di antara karya terbaik dan paling banyak faedah dalam masalah ini adalah kitab Al-Hafizh, Al-Faqih, Abu Bakr Al-Baihaqi *radhiyallahu 'anhu*.
وَقَدْ قَرَّرَ أَئِمَّتُنَا مِنَ الْمُتَكَلِّمِينَ ذَلِكَ أَحْسَنَ تَقْرِيرٍ بِدَلَائِلِهِمُ الْقَطْعِيَّةِ السَّمْعِيَّةِ وَالْعَقْلِيَّةِ
Para imam kami dari kalangan ahli kalam telah mengokohkan masalah ini dengan sebaik-baik penjelasan, dengan dalil-dalil mereka yang pasti, baik sam'i (naqli) maupun aqli.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ (فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ) هُوَ بِضَمِّ الْوَاوِ وَكَسْرِ الْفَاءِ الْمُشَدَّدَةِ
Sabdanya: "Fa wuffiqa lana Abdullah bin Umar", dibaca dengan wau yang didhammah dan fa' yang dikasrah dan ditasydid.
قَالَ صَاحِبُ التَّحْرِيرِ مَعْنَاهُ جُعِلَ وَفْقًا لَنَا
Penulis *At-Tahrir* berkata: Maknanya adalah "dia dijadikan sesuai (cocok) untuk kita."
وَهُوَ مِنَ الْمُوَافَقَةِ الَّتِي هِيَ كَالِالْتِحَامِ
Kata ini berasal dari muwafaqah (kecocokan), yang mirip dengan makna melekat/bersatu.
يُقَالُ أَتَانَا لِتِيفَاقِ الْهِلَالِ وَمِيفَاقِهِ أَيْ حِينَ أَهَلَّ لَا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ
Dikatakan: "Atana litifaqil hilal wa mifaquh", artinya: "Dia datang kepada kami bertepatan dengan munculnya hilal," yakni saat ia tampak, bukan sebelum atau sesudahnya.
وَهِيَ لَفْظَةٌ تَدُلُّ عَلَى صِدْقِ الِاجْتِمَاعِ وَالِالْتِئَامِ
Ini adalah kata yang menunjukkan benarnya pertemuan dan keterkaitan yang menyatu.
وَفِي مُسْنَدِ أَبِي يَعْلَى الْمَوْصِلِيِّ فَوَافَقَ لَنَا بِزِيَادَةِ أَلِفٍ
Dalam *Musnad* Abu Ya'la Al-Mushili tertulis: "Fa wafaqa lana," dengan tambahan alif (setelah wau).
وَالْمُوَافَقَةُ الْمُصَادَفَةُ
Dan muwafaqah artinya pertemuan yang kebetulan (bertepatan).
قَوْلُهُ (فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي) يَعْنِي صِرْنَا فِي نَاحِيَتَيْهِ
Sabdanya: "Fa ikhtanaftuhu ana wa shahibi", artinya: kami menjadi berada pada dua sisinya.
ثُمَّ فَسَّرَهُ فَقَالَ أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ
Lalu ia menjelaskannya dengan ucapannya: "Salah satu dari kami di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya."
وَكَنَفَا الطَّائِرِ جَنَاحَاهُ
Dan "kanafaa" pada seekor burung adalah kedua sayapnya.
وَفِي هَذَا تَنْبِيهٌ عَلَى أَدَبِ الْجَمَاعَةِ فِي مَشْيهِمْ مَعَ فَاضِلِهِمْ
Dalam hal ini ada isyarat tentang adab jamaah ketika berjalan bersama orang yang utama di antara mereka.
وَهُوَ أَنَّهُمْ يَكْتَنِفُونَهُ وَيَحُفُّونَ بِهِ
Yaitu hendaknya mereka mengapitnya di kanan dan kirinya dan mengelilinginya.
قَوْلُهُ (فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ) مَعْنَاهُ يَسْكُتُ وَيُفَوِّضُهُ إِلَيَّ
Sabdanya: "Fazhanantu anna shahibi sayakilul kalama ilayya", artinya: aku mengira sahabatku akan diam dan menyerahkan pembicaraan kepadaku.
لِإِقْدَامِي وَجُرْأَتِي وَبَسْطَةِ لِسَانِي
Karena keberanianku, ketegasanku, dan kelancaran lidahku.
فَقَدْ جَاءَ عَنْهُ فِي رِوَايَةٍ لِأَنِّي كُنْتُ أَبْسَطَ لِسَانًا
Sungguh telah datang dalam sebuah riwayat darinya: "Karena aku lebih lancar lisannya (lebih fasih berbicara)."
قَوْلُهُ (ظهر قبلنا ناس يقرؤن الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ) هُوَ بِتَقْدِيمِ الْقَافِ عَلَى الْفَاءِ
Sabdanya: "Zahara qibalana nasun yaqrauna al-Qur'ana wa yataqaffarunal 'ilm", ditulis dengan mendahulukan huruf qaf dari fa' (يَتَقَفَّرُونَ).
وَمَعْنَاهُ يَطْلُبُونَهُ وَيَتَتَبَّعُونَهُ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ
Maknanya: mereka menuntut ilmu dan menelusurinya. Inilah makna yang masyhur.
وَقِيلَ مَعْنَاهُ يَجْمَعُونَهُ
Ada yang berkata: Maknanya adalah mereka mengumpulkannya.
وَرَوَاهُ بَعْضُ شُيُوخِ الْمَغَارِبَةِ من طريق بن ماهان يتفقرون بتقديم الفاء
Sebagian syaikh dari kalangan orang Maghrib meriwayatkannya melalui jalur Ibnu Mahan dengan lafaz "yatafaqqarun", dengan mendahulukan fa'.
وَهُوَ صحيح أَيْضًا مَعْنَاهُ يَبْحَثُونَ عَنْ غَامِضِهِ وَيَسْتَخْرِجُونَ خَفِيَّهُ
Ini juga benar. Maknanya: mereka meneliti yang samar darinya dan mengeluarkan hal-hal yang tersembunyinya.
وروْى شرح النووي على مسلم - جـ ١(ص: ١٥٦) فى غير مسلم يتفقون بِتَقْدِيمِ الْقَافِ وَحَذْفِ الرَّاءِ
Dan diriwayatkan di luar Muslim dengan lafaz "yatafiqqun", dengan mendahulukan qaf dan menghapus ra'.
وَهُوَ صَحِيحٌ أَيْضًا وَمَعْنَاهُ أَيْضًا يَتَتَبَّعُونَ
Ini juga sahih, dan maknanya juga: mereka menelusuri.
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ وَرَأَيْتُ بَعْضَهُمْ قَالَ فِيهِ يَتَقَعَّرُونَ بِالْعَيْنِ
Qadhi Iyadh berkata: Aku melihat sebagian mereka mengatakan di dalamnya "yataqa''arun", dengan 'ain.
وَفَسَّرَهُ بِأَنَّهُمْ يَطْلُبُونَ قَعْرَهُ أَيْ غَامِضَهُ وَخَفِيَّهُ
Mereka menafsirkannya bahwa mereka mencari bagian "dasar" ilmu, yaitu yang samar dan tersembunyinya.
وَمِنْهُ تَقَعَّرَ فِي كَلَامِهِ إِذَا جَاءَ بِالْغَرِيبِ مِنْهُ
Dan dari sinilah istilah "taqa''ara fi kalamihi" yakni apabila seseorang mendatangkan kata-kata asing (sukar dipahami) dalam ucapannya.
وَفِي رِوَايَةِ أَبِي يَعْلَى الْمَوْصِلِيِّ يَتَفَقَّهُونَ بِزِيَادَةِ الْهَاءِ وَهُوَ ظَاهِرٌ
Dalam riwayat Abu Ya'la Al-Mushili tertulis "yatafaqahuna", dengan tambahan ha', dan ini jelas (maknanya: belajar fikih).
قَوْلُهُ (وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ) هَذَا الْكَلَامُ مِنْ كَلَامِ بَعْضِ الرُّوَاةِ الَّذِينَ دُونَ يحيى بن يعمر
Sabdanya: "Wa dzakara min sya'nihim", ucapan ini berasal dari salah satu perawi yang berada di bawah Yahya bin Ya'mar (dalam sanad).
والظاهر أنه من بن بُرَيْدَةَ الرَّاوِي عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ
Dan yang tampak, ucapan itu dari Ibnu Buraidah, perawi dari Yahya bin Ya'mar.
يَعْنِي وذكر بن يَعْمَرَ مِنْ حَالِ هَؤُلَاءِ وَوَصْفِهِمْ بِالْفَضِيلَةِ فِي الْعِلْمِ وَالِاجْتِهَادِ فِي تَحْصِيلِهِ وَالِاعْتِنَاءِ بِهِ
Yakni: Ibnu Ya'mar telah menyebut tentang keadaan mereka, dan menyifati mereka dengan keutamaan dalam ilmu, kesungguhan dalam meraihnya, dan perhatian terhadapnya.
قَوْلُهُ (يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ) هُوَ بِضَمِّ الْهَمْزَةِ وَالنُّونِ
Sabdanya: "Yaz'umuna an la qadara wa annan al-amra unuf", kata "unuf" dibaca dengan hamzah yang didhammah dan nun yang juga didhammah.
أَيْ مُسْتَأْنَفٌ لَمْ يَسْبِقْ بِهِ قَدَرٌ وَلَا عِلْمٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى
Artinya: sesuatu yang baru, yang tidak didahului oleh takdir dan ilmu dari Allah Ta'ala.
وَإِنَّمَا يَعْلَمُهُ بَعْدَ وُقُوعِهِ كَمَا قَدَّمْنَا حِكَايَتَهُ عَنْ مَذْهَبِهِمُ الْبَاطِلِ
Dan bahwa Dia baru mengetahuinya setelah terjadinya, sebagaimana telah kami sebutkan pengisahan tentang madzhab batil mereka.
وَهَذَا الْقَوْلُ قَوْلُ غُلَاتِهِمْ وَلَيْسَ قَوْلُ جَمِيعِ الْقَدَرِيَّةِ
Ucapan ini adalah pendapat kaum ekstrimis di antara mereka, bukan pendapat seluruh Qadariyyah.
وَكَذَبَ قَائِلُهُ وَضَلَّ وَافْتَرَى عَافَانَا اللَّهُ وَسَائِرَ الْمُسْلِمِينَ
Orang yang mengatakannya telah berdusta, sesat, dan mengada-ada. Semoga Allah melindungi kita dan seluruh kaum muslimin.
قَوْلُهُ (قال يعنى بن عُمَرَ رضي الله عنهما فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ)
Sabdanya (yakni ucapan Ibnu Umar *radhiyallahu 'anhuma*): "Jika engkau bertemu mereka, beritahukan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud lalu ia menginfakkannya, Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir."
هذا الذى قاله بن عُمَرَ رضي الله عنهما ظَاهِرٌ فِي تَكْفِيرِهِ الْقَدَرِيَّةَ
Ucapan Ibnu Umar ini secara lahir menunjukkan pengkafirannya terhadap Qadariyyah.
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رحمه الله هَذَا فِي الْقَدَرِيَّةِ الْأُوَلِ الَّذِينَ نَفَوْا تَقَدُّمَ عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى بِالْكَائِنَاتِ
Qadhi Iyadh *rahimahullah* berkata: Ini (pengkafiran) berlaku pada Qadariyyah generasi pertama yang menafikan terdahulunya ilmu Allah Ta'ala terhadap segala kejadian.
قَالَ وَالْقَائِلُ بِهَذَا كَافِرٌ بِلَا خِلَافٍ
Ia berkata: Orang yang berpendapat demikian adalah kafir tanpa ada perbedaan pendapat.
وَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُنْكِرُونَ الْقَدَرَ هُمُ الْفَلَاسِفَةُ فِي الْحَقِيقَةِ
Mereka yang mengingkari takdir ini pada hakikatnya adalah para filosof (yang menyimpang).
قَالَ غَيْرُهُ وَيَجُوزُ أَنَّهُ لَمْ يُرِدْ بِهَذَا الْكَلَامَ التَّكْفِيرَ الْمُخْرِجَ مِنَ الْمِلَّةِ
Ulama lain berkata: Mungkin Ibnu Umar tidak bermaksud dengan ucapan ini pengkafiran yang mengeluarkan dari agama.
فَيَكُونُ مِنْ قَبِيلِ كُفْرَانِ النِّعَمِ
Sehingga ucapan itu termasuk dalam kategori kufranun-ni'am (mengingkari nikmat).
إِلَّا أَنَّ قَوْلَهُ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْهُ ظَاهِرٌ فى التكفير
Hanya saja, ucapan beliau "Allah tidak menerimanya darinya" secara lahir menunjukkan pengkafiran.
فَإِنَّ إِحْبَاطَ الْأَعْمَالِ إِنَّمَا يَكُونُ بِالْكُفْرِ
Karena penghapusan (gugurnya) amal-amal itu hanya terjadi disebabkan kekufuran.
إِلَّا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ فِي الْمُسْلِمِ لَا يُقْبَلُ عَمَلُهُ لِمَعْصِيَتِهِ وَإِنْ كَانَ صَحِيحًا
Tetapi dimungkinkan juga dikatakan pada seorang muslim: "Amalnya tidak diterima karena maksiatnya," meskipun amal tersebut secara hukum sah.
كَمَا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوبَةِ صَحِيحَةٌ غَيْرُ مُحْوِجَةٍ إِلَى الْقَضَاءِ عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ بَلْ بِإِجْمَاعِ السَّلَفِ
Sebagaimana shalat di rumah yang dirampas adalah shalat yang sah dan tidak perlu diqadha menurut jumhur ulama, bahkan menurut ijma' salaf.
وَهِيَ غَيْرُ مَقْبُولَةٍ فَلَا ثَوَابَ فِيهَا عَلَى الْمُخْتَارِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Namun shalat itu tidak diterima (tidak berpahala), menurut pendapat yang terpilih di kalangan sahabat kami (Syafi'iyyah). Dan Allah lebih mengetahui.
وَقَوْلُهُ فَأَنْفَقَهُ يَعْنِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى أَيْ طَاعَتِهِ كَمَا جَاءَ فِي رِوَايَةٍ أُخْرَى
Sabdanya: "Lalu ia menginfakkannya", maksudnya: di jalan Allah Ta'ala, yakni dalam ketaatan kepada-Nya, sebagaimana datang dalam riwayat lain.
قال نفطويه سُمِّيَ الذَّهَبُ ذَهَبًا لِأَنَّهُ يَذْهَبُ وَلَا يَبْقَى
An-Nafthawaih berkata: Dinamakan emas (dzahab) sebagai "dzahab" karena ia "pergi" (habis) dan tidak tetap.
قَوْلُهُ (لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ) ضَبَطْنَاهُ بِالْيَاءِ الْمُثَنَّاةِ مِنْ تَحْتُ الْمَضْمُومَةِ
Sabdanya: "La yura 'alayhi atsarus-safar", kami membacanya dengan ya' (يُرَى) yang didhammah.
وَكَذَلِكَ ضَبَطْنَاهُ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهِ
Demikian pula kami men-tashih-nya dalam *Al-Jam' bayna Ash-Shahihain* dan selainnya.
وَضَبَطَهُ الْحَافِظُ أَبُو حَازِمٍ الْعَدَوِيُّ هُنَا نَرَى بِالنُّونِ الْمَفْتُوحَةِ
Al-Hafizh Abu Hazim Al-'Adawi men-tashih di sini dengan lafaz "nara" (نَرَى) menggunakan nun yang difathah.
وَكَذَا هُوَ فِي مُسْنَدِ أَبِي يَعْلَى الْمَوْصِلِيِّ وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ
Dan demikian pula dalam *Musnad* Abu Ya'la Al-Mushili. Kedua bacaan itu sama-sama sahih.
قَوْلُهُ (وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ) مَعْنَاهُ أَنَّ الرَّجُلَ الدَّاخِلَ وَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْ نَفْسِهِ
Sabdanya: "Wa wada'a kaffayhi 'ala fakhidhayhi", maknanya: laki-laki yang datang meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya sendiri.
وَجَلَسَ عَلَى هَيْئَةِ الْمُتَعَلِّمِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan ia duduk dengan cara duduk seorang penuntut ilmu. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَالْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ إِلَى آخِرِهِ)
Sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam*: "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan iman adalah engkau beriman kepada Allah … hingga akhir hadis."
هَذَا قَدْ تَقَدَّمَ بَيَانُهُ وَإِيضَاحُهُ بِمَا يُغْنِي عَنْ إِعَادَتِهِ
Ini telah dijelaskan dan diterangkan sebelumnya dengan penjelasan yang mencukupi sehingga tidak perlu diulang.
قَوْلُهُ (فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ) سَبَبُ تَعَجُّبِهِمْ أَنَّ هَذَا خِلَافُ عَادَةِ السَّائِلِ الْجَاهِلِ
Sabdanya: "Fa 'ajibna lahu, yas-aluhu wa yusaddiquhu", sebab keheranan mereka adalah karena hal ini menyelisihi kebiasaan orang yang bertanya dalam keadaan tidak tahu.
إِنَّمَا هَذَا كَلَامُ خَبِيرٍ بِالْمَسْئُولِ عَنْهُ
Justru ini adalah ucapan orang yang berpengetahuan tentang apa yang ia tanyakan.
وَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ مَنْ يَعْلَمُ هَذَا غَيْرُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
Dan pada saat itu, tidak ada seorang pun yang mengetahui masalah ini selain Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam*.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ)
Sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam*: "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak (bisa) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."
هَذَا مِنْ جَوَامِعِ الْكَلِمِ الَّتِي أُوتِيَهَا صلى الله عليه وسلم
Ini termasuk jawami'ul kalim (ucapan singkat yang sangat padat makna) yang dianugerahkan kepada beliau *shallallahu 'alaihi wa sallam*.
لِأَنَّا لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ أَحَدَنَا قَامَ فِي عِبَادَةٍ وَهُوَ يُعَايِنُ رَبَّهُ سبحانه وتعالى
Sebab, jika kita membayangkan bahwa salah seorang dari kita berdiri dalam ibadah, sedangkan ia menyaksikan Tuhannya *Subhanahu wa Ta'ala*,
لَمْ يَتْرُكْ شَيْئًا مِمَّا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنَ الْخُضُوعِ وَالْخُشُوعِ وَحُسْنِ السَّمْتِ
maka ia tidak akan meninggalkan sedikit pun dari segala bentuk ketundukan, kekhusyukan, serta penampilan yang baik yang ia mampu lakukan,
وَاجْتِمَاعِهِ بِظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ عَلَى الِاعْتِنَاءِ بِتَتْمِيمِهَا عَلَى أَحْسَنِ وُجُوهِهَا إِلَّا أَتَى بِهِ
dan ia akan menghimpun segenap lahir dan batinnya untuk menunaikan ibadah itu sebaik-baiknya, kecuali ia akan melakukannya.
فَقَالَ صلى الله عليه وسلم اعْبُدِ اللَّهَ فِي جَمِيعِ أَحْوَالِكَ كَعِبَادَتِكَ فِي حَالِ الْعِيَانِ
Maka Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam* bersabda (secara makna): "Beribadahlah kepada Allah dalam seluruh keadaanmu seperti ibadahmu dalam keadaan melihat-Nya."
فَإِنَّ التَّتْمِيمَ الْمَذْكُورَ فِي حَالِ الْعِيَانِ إِنَّمَا كَانَ لِعِلْمِ الْعَبْدِ بِاطِّلَاعِ اللَّهِ سبحانه وتعالى عَلَيْهِ
Karena kesempurnaan ibadah yang disebutkan dalam keadaan melihat (al-'iyan) itu hanyalah terjadi karena pengetahuan hamba bahwa Allah *Subhanahu wa Ta'ala* melihatnya.
فَلَا يُقْدِمُ الْعَبْدُ عَلَى تَقْصِيرٍ فِي هَذَا الْحَالِ لِلِاطِّلَاعِ عَلَيْهِ
Maka seorang hamba tidak akan berani melakukan kekurangan dalam keadaan tersebut, karena (ia tahu) Allah melihatnya.
وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ مَعَ عَدَمِ رُؤْيَةِ الْعَبْدِ
Makna ini tetap ada meskipun hamba tidak melihat (Allah).
فَيَنْبَغِي أَنْ يُعْمَلَ بِمُقْتَضَاهُ
Maka seharusnya ia beramal sesuai konsekuensi makna ini.
فَمَقْصُودُ الْكَلَامِ الْحَثُّ عَلَى الْإِخْلَاصِ فِي الْعِبَادَةِ
Maksud utama ucapan ini adalah menganjurkan keikhlasan dalam ibadah.
وَمُرَاقَبَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ تبارك وتعالى فِي إِتْمَامِ الْخُشُوعِ وَالْخُضُوعِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
Dan agar hamba selalu mengawasi (murakabah) Tuhannya *Tabaraka wa Ta'ala* dalam menyempurnakan kekhusyukan, ketundukan, dan lainnya.
وَقَدْ نَدَبَ أَهْلُ الْحَقَائِقِ إِلَى مُجَالَسَةِ الصَّالِحِينَ
Para ahli hakikat (tasawuf yang lurus) menganjurkan untuk duduk bersama orang-orang saleh.
لِيَكُونَ ذَلِكَ مَانِعًا مِنْ تَلَبُّسِهِ بِشَيْءٍ مِنَ النَّقَائِصِ احْتِرَامًا لَهُمْ وَاسْتِحْيَاءً مِنْهُمْ
Agar hal itu menjadi penghalang baginya dari melakukan kekurangan (aib), karena rasa hormat dan malu kepada mereka.
فَكَيْفَ بِمَنْ لَا يَزَالُ اللَّهُ تَعَالَى مُطَّلِعًا عَلَيْهِ فِي سِرِّهِ وَعَلَانِيَتِهِ
Maka bagaimana halnya dengan (sikap yang seharusnya) terhadap Allah Ta'ala, yang senantiasa melihat hamba-Nya, baik rahasia maupun terang-terangan?
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رحمه الله وَهَذَا الْحَدِيثُ قَدِ اشْتَمَلَ عَلَى شَرْحِ جَمِيعِ وَظَائِفِ الْعِبَادَاتِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ
Qadhi Iyadh *rahimahullah* berkata: Hadis ini telah mencakup penjelasan seluruh kewajiban ibadah, lahir dan batin,
مِنْ عُقُودِ الْإِيمَانِ وَأَعْمَالِ الْجَوَارِحِ وَإِخْلَاصِ السَّرَائِرِ وَالتَّحَفُّظِ مِنْ آفَاتِ الْأَعْمَالِ
mulai dari keyakinan iman, amalan anggota badan, keikhlasan hati, dan menjaga diri dari cacat-cacat amal.
حَتَّى إِنَّ عُلُومَ الشَّرِيعَةِ كُلَّهَا راجعة إليه ومتشعبة مِنْهُ
Sehingga seluruh ilmu syariat kembali kepada hadis ini dan bercabang darinya.
قَالَ وَعَلَى هَذَا الْحَدِيثِ وَأَقْسَامِهِ الثَّلَاثَةِ أَلَّفْنَا كِتَابَنَا الَّذِي سَمَّيْنَاهُ بِالْمَقَاصِدِ الْحِسَانِ فِيمَا يَلْزَمُ الْإِنْسَانَ
Ia berkata: Berdasarkan hadis ini dan tiga bagiannya, kami menyusun kitab kami yang kami namai *Al-Maqashid Al-Hisan fima Yalzamu Al-Insan*.
إِذْ لَا يَشِذُّ شَيْءٌ مِنَ الْوَاجِبَاتِ وَالسُّنَنِ وَالرَّغَائِبِ وَالْمَحْظُورَاتِ وَالْمَكْرُوهَاتِ عَنْ أَقْسَامِهِ الثَّلَاثَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Karena tidak ada satu pun dari kewajiban, sunnah, anjuran, larangan, dan makruh yang keluar dari tiga bagiannya ini. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ)
Sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam*: "Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada penanya."
فِيهِ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَالْمُفْتِي وَغَيْرِهِمَا إِذَا سُئِلَ عَمَّا لَا يَعْلَمُ أَنْ يَقُولَ لَا أَعْلَمُ
Di dalamnya terdapat dalil bahwa seharusnya seorang alim dan mufti, serta selain keduanya, apabila ditanya tentang sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia berkata: "Aku tidak tahu."
وَأَنَّ ذَلِكَ لَا يَنْقُصُهُ بَلْ يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى وَرَعِهِ وَتَقْوَاهُ وَوُفُورِ عِلْمِهِ
Dan bahwa hal itu tidak mengurangi kedudukannya, bahkan menunjukkan wara' (kehati-hatian), takwa, dan luasnya ilmunya.
وَقَدْ بَسَطْتُ هَذَا بِدَلَائِلِهِ وَشَوَاهِدِهِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ فِي مُقَدِّمَةِ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ
Aku telah memaparkan hal ini secara rinci, dengan dalil-dalil dan contoh-contohnya, serta hal-hal yang berkaitan dengannya, dalam pendahuluan *Syarh Al-Muhadzdzab*.
الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى أَنْوَاعٍ مِنَ الْخَيْرِ لَا بُدَّ لِطَالِبِ الْعِلْمِ مِنْ مَعْرِفَةِ مِثْلِهَا وَإِدَامَةِ النَّظَرِ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
(Yaitu) pendahuluan yang mencakup berbagai jenis kebaikan yang wajib diketahui oleh penuntut ilmu dan hendaknya ia terus-menerus menelaahnya. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ (فَأَخْبِرْن��ي عَنْ أَمَارَاتِهَا) هُوَ بِفَتْحِ الْهَمْزَةِ
Sabdanya: "Fa akhbirni 'an amaratihā", kata "amarat" dibaca dengan hamzah yang difathah.
وَالْأَمَارَةُ وَالْأَمَارُ بِإِثْبَاتِ الْهَاءِ وَحَذْفِهَا هِيَ الْعَلَامَةُ
Dan kata "al-amārah" (dengan ha') dan "al-amār" (tanpa ha') keduanya berarti "tanda".
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا) وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى رَبَّهَا عَلَى التَّذْكِيرِ
Sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam*: "Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya (rabbatāhā)," dan dalam riwayat lain disebut "rabbahā" (bentuk mudzakkar).
وَفِي الْأُخْرَى بَعْلَهَا وَقَالَ يَعْنِي السَّرَارِيَّ
Dan dalam riwayat yang lain: "Ba'lahā" (suaminya), lalu beliau berkata: "Maksudnya adalah para budak selir."
وَمَعْنَى رَبَّهَا وَرَبَّتَهَا سَيِّدَهَا وَمَالِكَهَا وَسَيِّدَتَهَا وَمَالِكَتَهَا
Makna "rabbahā" dan "rabbatāhā" adalah tuannya dan pemiliknya, laki-laki dan perempuan.
قَالَ الْأَكْثَرُونَ مِنَ الْعُلَمَاءِ هُوَ إِخْبَارٌ عَنْ كَثْرَةِ السَّرَارِيِّ وَأَوْلَادِهِنَّ
Mayoritas ulama berkata: Ini adalah pemberitaan tentang banyaknya budak-budak selir dan anak-anak mereka.
فَإِنَّ وَلَدَهَا مِنْ سَيِّدِهَا بِمَنْزِلَةِ سَيِّدِهَا لِأَنَّ مَالَ الْإِنْسَانِ صَائِرٌ إِلَى وَلَدِهِ
Karena anak seorang budak dari tuannya kedudukannya seperti tuannya. Sebab harta seseorang akan berpindah kepada anaknya.
وَقَدْ يَتَصَرَّفُ فِيهِ فِي الْحَالِ تَصَرُّفَ الْمَالِكِينَ إِمَّا بِتَصْرِيحِ أَبِيهِ لَهُ بِالْإِذْنِ
Dan anak itu bisa jadi di masa hidup ayahnya telah mengelola harta tersebut layaknya pemilik, baik dengan izin ayahnya secara jelas,
وَإِمَّا بِمَا يَعْلَمُهُ بِقَرِينَةِ الْحَالِ أَوْ عُرْفِ الِاسْتِعْمَالِ
ataupun dengan yang dipahami dari indikasi keadaan atau kebiasaan yang berlaku.
وَقِيلَ مَعْنَاهُ أَنَّ الْإِمَاءَ يَلِدْنَ الْمُلُوكَ فَتَكُونُ أُمُّهُ مِنْ جُمْلَةِ رَعِيَّتِهِ
Ada yang berkata: Maknanya adalah bahwa para budak wanita melahirkan raja-raja. Sehingga ibunya menjadi bagian dari rakyatnya.
وَهُوَ سَيِّدُهَا وَسَيِّدُ غَيْرِهَا مِنْ رَعِيَّتِهِ وَهَذَا قَوْلُ إِبْرَاهِيمَ الْحَرْبِيِّ
Sedangkan sang anak menjadi tuan ibunya dan tuan yang lain dari rakyatnya. Ini adalah pendapat Ibrahim Al-Harbi.
وقيل معناه أن تَفْسُدُ أَحْوَالُ النَّاسِ فَيَكْثُرُ بَيْعُ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ فِي آخِرِ الزَّمَانِ
Ada yang berkata: Maknanya adalah keadaan manusia akan rusak. Lalu banyak terjadi penjualan ummahatul awlad (budak yang melahirkan anak tuannya) di akhir zaman.
فَيَكْثُرُ تَرْدَادُهَا فِي أَيْدِي الْمُشْتَرِينَ حَتَّى يَشْتَرِيَهَا ابْنُهَا وَلَا يَدْرِي
Sehingga ia (sang budak) sering berpindah-pindah tangan di antara para pembeli, hingga akhirnya dibeli oleh anaknya sendiri tanpa ia mengetahuinya.
وَيُحْتَمَلُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ أَنْ لَا يَخْتَصَّ هَذَا بِأُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ فَإِنَّهُ مُتَصَوَّرٌ فِي غَيْرِهِنَّ
Menurut pendapat ini, mungkin hal itu tidak khusus pada ummahatul awlad saja, karena hal serupa dapat terjadi pada budak selain mereka.
فَإِنَّ الْأَمَةَ تَلِدُ وَلَدًا حُرًّا مِنْ غَيْرِ سَيِّدِهَا بِشُبْهَةٍ
Karena seorang budak wanita bisa melahirkan anak merdeka dari selain tuannya dengan sebab syubhat,
أَوْ وَلَدًا رَقِيقًا بِنِكَاحٍ أَوْ زِنًا
atau melahirkan anak budak melalui pernikahan atau zina.
ثُمَّ تُبَاعُ الْأَمَةُ فِي الصُّورَتَيْنِ بَيْعًا صَحِيحًا
Kemudian budak tersebut dijual dalam dua keadaan tadi dengan jual beli yang sah.
وَتَدُورُ فِي الْأَيْدِي حَتَّى يَشْتَرِيَهَا وَلَدُهَا
Dan ia berpindah-pindah tangan hingga akhirnya dibeli oleh anaknya sendiri.
وَهَذَا أَكْثَرُ وَأَعَمُّ مِنْ تَقْدِيرِهِ فِي أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ
Hal ini lebih sering terjadi dan lebih umum daripada jika hanya diperkirakan terjadi pada ummahatul awlad.
وَقِيلَ فِي مَعْنَاهُ غَيْرُ مَا ذَكَرْنَاهُ وَلَكِنَّهَا أَقْوَالٌ ضَعِيفَةٌ جِدًّا أَوْ فَاسِدَةٌ فَتَرَكْتُهَا
Ada lagi penafsiran lain yang dikemukakan mengenai makna ini, namun itu adalah pendapat yang sangat lemah atau batil, maka aku tidak menyebutkannya.
وَأَمَّا بَعْلُهَا فَالصَّحِيحُ فِي مَعْنَاهُ أَنَّ الْبَعْلَ هُوَ الْمَالِكُ أَوِ السَّيِّدُ
Adapun kata "ba'luhā", maka makna yang benar adalah bahwa "ba'l" berarti pemilik atau tuan.
فَيَكُونُ بِمَعْنَى رَبِّهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ
Maka maknanya sama dengan "rabbihā" (tuan/pemiliknya), sebagaimana telah kami sebutkan.
قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ بَعْلُ الشَّيْءِ ربه ومالكه
Para ahli bahasa berkata: "Ba'l" suatu benda adalah rabb (tuan) dan pemiliknya.
وقال بن عَبَّاسٍ رضي الله عنهما وَالْمُفَسِّرُونَ فِي قَوْلِهُ سبحانه وتعالى أتدعون بعلا أَيْ رَبًّا
Ibnu Abbas *radhiyallahu 'anhuma* dan para ahli tafsir berkata tentang firman-Nya *Subhanahu wa Ta'ala*: "Atad'una ba'lan" (Apakah kalian menyeru Ba'l?), maksudnya: "Rabb (tuhan)".
وَقِيلَ الْمُرَادُ بِالْبَعْلِ فِي الْحَدِيثِ الزَّوْجُ وَمَعْنَاهُ نَحْوُ مَا تَقَدَّمَ
Ada yang berkata: Yang dimaksud dengan "ba'l" dalam hadis ini adalah suami. Maknanya kurang lebih sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
أَنَّهُ يَكْثُرُ بَيْعُ السَّرَارِيِّ حَتَّى يَتَزَوَّجَ الْإِنْسَانُ أُمَّهُ وَهُوَ لَا يَدْرِي
Yaitu bahwa penjualan para budak selir akan banyak terjadi, hingga seorang manusia menikahi ibunya sendiri tanpa ia ketahui.
وَهَذَا أَيْضًا مَعْنًى صَحِيحٌ إِلَّا أَنَّ الْأَوَّلَ أَظْهَرُ
Ini juga makna yang benar, namun penafsiran yang pertama lebih jelas (kuat).
لِأَنَّهُ إِذَا أَمْكَنَ حَمْلُ الرِّوَايَتَيْنِ فِي الْقَضِيَّةِ الْوَاحِدَةِ عَلَى مَعْنًى وَاحِدٍ كَانَ أَوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Sebab jika memungkinkan menggabungkan dua riwayat dalam satu peristiwa pada satu makna, maka itu lebih utama. Dan Allah lebih mengetahui.
وَاعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ لَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى إِبَاحَةِ بَيْعِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ وَلَا مَنْعِ بَيْعِهِنَّ
Ketahuilah bahwa hadis ini tidak mengandung dalil bolehnya menjual ummahatul awlad ataupun larangan menjual mereka.
وَقَدِ اسْتَدَلَّ إِمَامَانِ مِنْ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ بِهِ عَلَى ذَلِكَ فَاسْتَدَلَّ أَحَدُهُمَا عَلَى الْإِبَاحَةِ وَالْآخَرُ عَلَى الْمَنْعِ
Namun ada dua imam besar dari kalangan ulama yang berdalil dengan hadis ini dalam masalah itu: yang satu berdalil dengannya untuk membolehkan, dan yang lain untuk melarang.
وَذَلِكَ عَجَبٌ مِنْهُمَا وَقَدْ أُنْكِرَ عَلَيْهِمَا
Ini merupakan hal yang mengherankan dari keduanya, dan pendapat mereka berdua telah diingkari (dikritik).
فَإِنَّهُ لَيْسَ كُلُّ مَا أَخْبَرَ صلى الله عليه وسلم بِكَوْنِهِ مِنْ عَلَامَاتِ السَّاعَةِ يَكُونُ مُحَرَّمًا أَوْ مَذْمُومًا
Karena tidak setiap hal yang diberitakan oleh Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam* sebagai tanda-tanda Kiamat itu haram atau tercela.
فَإِنَّ تَطَاوُلَ الرِّعَاءِ فِي الْبُنْيَانِ وَفُشُوَّ الْمَالِ وَكَوْنَ خَمْسِينَ امْرَأَةً لَهُنَّ قَيِّمٌ وَاحِدٌ لَيْسَ بِحَرَامٍ بِلَا شَكٍّ
Karena penggembala yang berlomba meninggikan bangunan, melimpahnya harta, dan adanya satu penanggung (wali) untuk lima puluh wanita, itu semua bukanlah hal yang haram, tanpa diragukan.
وَإِنَّمَا هَذِهِ عَلَامَاتٌ
Semua itu hanyalah tanda-tanda (Kiamat).
وَالْعَلَامَةُ لَا يُشْتَرَطُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ بَلْ تَكُونُ بِالْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَالْمُبَاحِ وَالْمُحَرَّمِ وَالْوَاجِبِ وَغَيْرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan untuk sebuah tanda tidak disyaratkan ia harus berupa perkara yang haram atau tercela; bahkan bisa berupa kebaikan, keburukan, mubah, haram, wajib, dan selainnya. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ)
Sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam*: "Dan engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berpakaian, miskin, penggembala kambing berlomba meninggikan bangunan."
أَمَّا الْعَالَةُ فَهُمُ الْفُقَرَاءُ وَالْعَائِلُ الْفَقِيرُ وَالْعَيْلَةُ الْفَقْرُ
Adapun "al-'ālah" adalah orang-orang fakir; "al-'ā'il" adalah orang fakir; "al-'aylah" adalah kefakiran.
وَعَالَ الرَّجُلُ يَعِيلُ عَيْلَةً أَيِ افْتَقَرَ
Dikatakan: "'āla ar-rajulu ya'īlu 'aylah", artinya: ia menjadi fakir.
وَالرِّعَاءُ بِكَسْرِ الرَّاءِ وَبِالْمَدِّ وَيُقَالُ فِيهِمْ رُعَاةٌ بِضَمِّ الرَّاءِ وَزِيَادَةِ الْهَاءِ بِلَا مَدٍّ
"Ar-ri'ā'" dibaca dengan ra' yang dikasrah dan huruf mad; dan tentang mereka juga dikatakan "ru'ātun", dengan ra' yang didhammah dan tambahan ha' tanpa mad.
وَمَعْنَاهُ أَنَّ أَهْلَ الْبَادِيَةِ وَأَشْبَاهَهَمْ مِنْ أَهْلِ الْحَاجَةِ وَالْفَاقَةِ تُبْسَطُ لَهُمُ الدُّنْيَا حَتَّى يَتَبَاهَوْنَ فِي الْبُنْيَانِ
Maknanya: penduduk pedalaman dan orang-orang semisal mereka dari kalangan yang butuh dan fakir, akan dilapangkan dunia bagi mereka hingga mereka saling bermegah-megahan dalam bangunan.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ (فَلَبِثَ مَلِيًّا) هَكَذَا ضَبَطْنَاهُ لَبِثَ آخِرَهُ ثَاءٌ مُثَلَّثَةٌ مِنْ غَيْرِ تَاءٍ
Sabdanya: "Falabitsa maliyyan", begini kami bacanya: "labitsa" di akhir dengan tsa' (ث) tiga titik, bukan dengan ta'.
وَفِي كَثِيرٍ مِنَ الْأُصُولِ الْمُحَقَّقَةِ لَبِثْتُ بِزِيَادَةِ تَاءِ الْمُتَكَلِّمِ وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ
Dalam banyak naskah yang teliti tertulis "labitstu", dengan tambahan ta' mutakallim. Keduanya sahih.
وَأَمَّا مَلِيًّا بِتَشْدِيدِ الْيَاءِ فَمَعْنَاهُ وَقْتًا طَوِيلًا
Adapun kata "maliyyan" dengan ya' yang ditasydid, maknanya: waktu yang lama.
وَفِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيِّ أَنَّهُ قَالَ ذَلِكَ بَعْدَ ثَلَاثٍ
Dalam riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi disebutkan bahwa beliau mengucapkan itu "setelah tiga (hari)."
وَفِي شَرْحِ السُّنَّةِ لِلْبَغَوِيِّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ
Dan dalam *Syarhus-Sunnah* karya Al-Baghawi disebutkan: "Setelah yang ketiga."
وَظَاهِرُ هَذَا أَنَّهُ بَعْدَ ثَلَاثِ لَيَالٍ
Secara lahir, ini menunjukkan setelah tiga malam.
وَفِي ظَاهِرِ هَذَا مُخَالَفَةٌ لِقَوْلِهِ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ بَعْدَ هَذَا ثُمَّ أَدْبَرَ الرَّجُلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رُدُّوا عَلَيَّ الرَّجُلَ فَأَخَذُوا لِيَرُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم هَذَا جِبْرِيلُ
Secara lahir, ini tampak bertentangan dengan sabdanya dalam hadis Abu Hurairah setelahnya: "Kemudian orang itu beranjak pergi, maka Rasulullah *shallallahu 'alaihi wa sallam* bersabda: 'Panggil kembali orang itu kepadaku.' Maka mereka beranjak untuk memanggilnya, lalu mereka tidak melihat apa pun. Maka Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam* bersabda: 'Itu adalah Jibril.'"
فَيَحْتَمِلُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه لَمْ يَحْضُرَ قَوْلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَهُمْ فِي الْحَالِ
Maka dimungkinkan menggabungkan kedua riwayat itu dengan mengatakan: Umar *radhiyallahu 'anhu* tidak hadir saat ucapan Nabi itu langsung disampaikan kepada mereka.
بَلْ كَانَ قَدْ قَامَ مِنَ الْمَجْلِسِ فَأَخْبَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْحَاضِرِينَ فِي الْحَالِ
Bahkan Umar sudah bangkit dari majelis, lalu Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam* mengabarkan kepada yang hadir saat itu.
وَأُخْبِرَ عُمَرَ رضي الله عنه بَعْدَ ثَلَاثٍ إِذْ لَمْ يَكُنْ حَاضِرًا وَقْتَ إِخْبَارِ الْبَاقِينَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Sedangkan Umar *radhiyallahu 'anhu* baru diberi tahu setelah tiga (hari), karena ia tidak hadir ketika Nabi memberi tahu yang lainnya. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم هَذَا جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ)
Sabda Nabi *shallallahu 'alaihi wa sallam*: "Itu adalah Jibril; ia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian."
فِيهِ أَنَّ الْإِيمَانَ وَالْإِسْلَامَ وَالْإِحْسَانَ تُسَمَّى كُلُّهَا دِينًا
Di dalamnya terdapat dalil bahwa iman, Islam, dan ihsan semuanya dinamakan agama (din).
وَاعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ يَجْمَعُ أَنْوَاعًا مِنَ الْعُلُومِ وَالْمَعَارِفِ وَالْآدَابِ وَاللَّطَائِفِ
Ketahuilah bahwa hadis ini menghimpun berbagai jenis ilmu, pengetahuan, adab, dan hal-hal halus (spiritual).
بَلْ هُوَ أَصْلُ الْإِسْلَامِ كَمَا حُكِينَاهُ عَنِ الْقَاضِي عِيَاضٍ
Bahkan ia adalah pokok Islam, sebagaimana kami nukil dari Qadhi Iyadh.
وَقَدْ تَقَدَّمَ فِي ضِمْنِ الْكَلَامِ فِيهِ جُمَلٌ مِنْ فَوَائِدِهِ
Dan telah lewat dalam rangkaian pembahasan atasnya beberapa kumpulan faidahnya.
وَمِمَّا لَمْ نَذْكُرُهُ مِنْ فَوَائِدِهِ أَنَّ فِيهِ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ حَضَرَ مَجْلِسَ الْعَالِمِ
Dan di antara faidah yang belum kami sebutkan: Hadis ini menunjukkan bahwa seharusnya orang yang menghadiri majelis seorang alim,
إِذَا عَلِمَ بِأَهْلِ الْمَجْلِسِ حَاجَةً إِلَى مَسْأَلَةٍ لَا يَسْأَلُونَ عَنْهَا أَنْ يَسْأَلَ هُوَ عَنْهَا لِيَحْصُلَ الْجَوَابُ لِلْجَمِيعِ
apabila ia mengetahui bahwa orang-orang di majelis tersebut membutuhkan jawaban suatu masalah namun mereka tidak bertanya, hendaknya ia yang bertanya agar jawaban itu diperoleh oleh semuanya.
وَفِيهِ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ أَنْ يَرْفُقَ بِالسَّائِلِ وَيُدْنِيَهُ مِنْهُ لِيَتَمَكَّنَ مِنْ سُؤَالِهِ غَيْرَ هَائِبٍ وَلَا مُنْقَبِضٍ
Dan di dalamnya juga ada dalil bahwa seharusnya seorang alim bersikap lembut kepada penanya dan mendekatkannya kepadanya, agar ia dapat bertanya dengan leluasa, tanpa takut dan tanpa canggung.
وَأَنَّهُ يَنْبَغِي لِلسَّائِلِ أَنْ يَرْفُقَ فِي سُؤَالِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan bahwa seorang penanya hendaknya bersikap lembut dalam pertanyaannya. Dan Allah lebih mengetahui.
قَوْلُهُ (حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ)
Ucapan beliau (Imam Muslim): "Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ubaid Al-Ghubari, Abu Kamil Al-Jahdari, dan Ahmad bin Abdah."
أَمَّا الْغُبَرِيُّ فَبِضَمِّ الْغَيْنِ الْمُعْجَمَةِ وَفَتْحِ الْمُوَحَّدَةِ
Adapun "Al-Ghubari", maka dengan mendhammah ghain mu'jamah (bertitik) dan memfathah ba' muwahhadah (bertitik satu).
وَقَدْ تَقَدَّمَ بَيَانُهُ وَاضِحًا فِي أول مقدمة الكتاب
Dan telah berlalu penjelasannya dengan jelas di awal mukadimah kitab ini.
والجحدرى اسْمُهُ الْفُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ
Adapun "Al-Jahdari", namanya adalah Al-Fudhail bin Husain.
وَهُوَ بِفَتْحِ الْجِيمِ وَبَعْدَهَا حَاءٌ سَاكِنَةٌ
Ia dibaca dengan memfathah jim, dan setelahnya ha' sukun.
وَتَقَدَّمَ أَيْضًا بَيَانُهُ فِي المقدمة
Dan telah berlalu juga penjelasannya di mukadimah.
وعبدة بِإِسْكَانِ الْبَاءِ
Adapun "Abdah", dibaca dengan mensukun ba'.
وَقَدْ تَقَدَّمَ فِي الْفُصُولِ بَيَانُ عَبْدَةَ وَعُبَيْدَةَ
Dan telah berlalu dalam pasal-pasal sebelumnya penjelasan tentang "Abdah" dan "Ubaidah".
وَفِي هَذَا الْإِسْنَادِ مَطَرٌ الْوَرَّاقُ هُوَ مَطَرُ بْنُ طَهْمَانَ أَبُو رَجَاءٍ الْخُرَسَانِيُّ
Dalam sanad ini terdapat Matar Al-Warraq; dia adalah Matar bin Tahman Abu Raja' Al-Khurasani.
سَكَنَ الْبَصْرَةَ كَانَ يَكْتُبُ الْمَصَاحِفَ فَقِيلَ لَهُ الْوَرَّاقُ
Ia tinggal di Bashrah dan biasa menulis mushaf, maka ia dijuluki Al-Warraq.
قَوْلُهُ (فَحَجَجْنَا حِجَّةً) هِيَ بِكَسْرِ الْحَاءِ وَفَتْحِهَا لُغَتَانِ
Ucapan beliau: "Fahajajna Hijjatan", kata "Hijjatan" dibaca dengan mengkasrah ha' dan memfathahnya, itu adalah dua dialek.
فَالْكَسْرُ هُوَ الْمَسْمُوعُ مِنَ الْعَرَبِ وَالْفَتْحُ هُوَ الْقِيَاسُ كَالضَّرْبَةِ وَشِبْهِهَا كَذَا قَالَهُ أَهْلُ اللُّغَةِ
Adapun kasrah adalah yang didengar dari orang Arab, sedangkan fathah adalah menurut kias (analogi) seperti kata "dharbah" dan semisalnya; demikian dikatakan oleh ahli bahasa.
قَوْلُهُ (عُثْمَانُ بن غياث) هو بالغين المعجمة
Ucapan beliau: "Utsman bin Ghiyats", dia dibaca dengan ghain mu'jamah (bertitik).
وحجاج بْنُ الشَّاعِرِ هُوَ حَجَّاجُ بْنُ يُوسُفَ بْنِ حَجَّاجٍ الثَّقَفِيُّ أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغْدَادِيُّ
Hajjaj bin Asy-Sya'ir adalah Hajjaj bin Yusuf bin Hajjaj Ats-Tsaqafi Abu Muhammad Al-Baghdadi.
وَقَدْ تَقَدَّمَ فِي أَوَائِلِ الْكِتَابِ بَيَانُهُ وَاتِّفَاقُهُ مَعَ الْحَجَّاجِ بْنِ يُوسُفَ الْوَالِي الظَّالِمِ الْمَعْرُوفِ وَافْتِرَاقُهُ
Telah berlalu di bagian awal kitab ini penjelasan tentangnya, serta kesamaannya dengan Hajjaj bin Yusuf sang gubernur zalim yang terkenal, dan perbedaannya.
وَفِي الاسناد يونس وقدم تَقَدَّمَ فِيهِ سِتُّ لُغَاتٍ ضَمُّ النُّونِ وَكَسْرِهَا وفتحها مع الهمز فيهن وتركه
Dalam sanad terdapat Yunus; dan telah berlalu penjelasan bahwa padanya terdapat enam dialek: mendhammah nun, mengkasrahnya, dan memfathahnya, disertai hamzah pada ketiga variasi tersebut atau tanpa hamzah.
وفى الْإِسْنَادِ الْآخَرِ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ واسمعيل بْنُ عُلَيَّةَ وَهُوَ إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ فِي الطَّرِيقِ الْأُخْرَى
Dalam sanad yang lain terdapat Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ismail bin Ulayyah; dia adalah Ismail bin Ibrahim pada jalur yang lain.
وَقَدْ تَقَدَّمَ بَيَانُهُ وَبَيَانُ حَالِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ وَحَالِ أَخِيهِ عُثْمَانَ وَأَبِيهِمَا مُحَمَّدٍ وَجَدِّهِمَا أَبِي شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمَ وَأَخِيهِمَا الْقَاسِمِ
Telah berlalu penjelasannya, serta penjelasan keadaan Abu Bakar bin Abi Syaibah, saudaranya Utsman, ayah mereka Muhammad, kakek mereka Abu Syaibah Ibrahim, dan saudara mereka Al-Qasim.
وَأَنَّ اسْمَ أَبِي بَكْرٍ عَبْدُ الله والله أعلم
Dan bahwa nama Abu Bakar adalah Abdullah. Wallahu a'lam.
وفى هَذَا الْإِسْنَادُ أَبُو حَيَّانَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ بن عمرو بن جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ
Dalam sanad ini terdapat Abu Hayyan dari Abu Zur'ah bin Amr bin Jarir bin Abdullah Al-Bajali.
فَأَبُو حَيَّانَ بِالْمُثَنَّاةِ تَحْتُ وَاسْمُهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيدِ بْنِ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ تَيْمُ الرَّبَابِ الْكُوفِيُّ
Adapun Abu Hayyan dengan ya' bertitik dua di bawah, namanya adalah Yahya bin Sa'id bin Hayyan At-Taimi (dari Taim Ar-Rabab) Al-Kufi.
وَأَمَّا أَبُو زُرْعَةَ فَاسْمُهُ هَرَمٌ
Adapun Abu Zur'ah, namanya adalah Haram.
وَقِيلَ عَمْرُو بْنُ عَمْرٍو وَقِيلَ عُبَيْدُ اللَّهِ وَقِيلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
Ada yang mengatakan namanya Amr bin Amr, ada yang mengatakan Ubaidullah, dan ada yang mengatakan Abdurrahman.
قَوْلُهُ (كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمًا بَارِزًا) أَيْ ظَاهِرًا
Ucapan beliau: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu hari barizan," maksudnya tampak (terlihat jelas).
وَمِنْهُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَبَرَزُوا لِلَّهِ جَمِيعًا وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ وَلَمَّا بَرَزُوا لجالوت
Darinya adalah firman Allah Ta'ala: "Dan kamu lihat bumi itu tampak jelas" (QS. Al-Kahfi: 47), "Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah" (QS. Ibrahim: 21), "Dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim" (QS. Asy-Syu'ara: 91), dan "Tatkala mereka tampak oleh Jalut" (QS. Al-Baqarah: 250).
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَلِقَائِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ الْآخِرِ) هُوَ بِكَسْرِ الْخَاءِ
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Engkau beriman kepada Allah, pertemuan dengan-Nya, dan engkau beriman kepada kebangkitan yang akhir (al-aakhir)." Kata "al-aakhir" dibaca dengan mengkasrah kha'.
وَاخْتُلِفَ فِي الْمُرَادِ بِالْجَمْعِ بَيْنَ الْإِيمَانِ بِلِقَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَالْبَعْثِ
Diperselisihkan maksud penggabungan antara iman kepada pertemuan dengan Allah Ta'ala dan kebangkitan.
فَقِيلَ اللِّقَاءُ يَحْصُلُ بِالِانْتِقَالِ إِلَى دَارِ الْجَزَاءِ وَالْبَعْثُ بَعْدَهُ عِنْدَ قِيَامِ السَّاعَةِ
Dikatakan: Pertemuan itu terjadi dengan berpindah ke negeri pembalasan, sedangkan kebangkitan terjadi setelahnya ketika kiamat tiba.
وَقِيلَ اللِّقَاءُ مَا يَكُونُ بَعْدَ الْبَعْثِ عِنْدَ الْحِسَابِ
Dikatakan pula: Pertemuan itu adalah apa yang terjadi setelah kebangkitan pada saat hisab.
ثُمَّ لَيْسَ الْمُرَادُ بِاللِّقَاءِ رُؤْيَةَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنَّ أَحَدًا لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِرُؤْيَةِ اللَّهِ تَعَالَى
Kemudian, yang dimaksud dengan pertemuan bukanlah melihat Allah Ta'ala (secara langsung saat itu juga bagi setiap orang), karena seseorang tidak bisa memastikan bagi dirinya bahwa ia akan melihat Allah Ta'ala.
لِأَنَّ الرُّؤْيَةَ مُخْتَصَّةٌ بِالْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَدْرِي الْإِنْسَانُ بِمَاذَا يُخْتَمُ لَهُ
Karena melihat Allah itu khusus bagi orang-orang mukmin, sedangkan manusia tidak tahu dengan keadaan apa ia akan diwafatkan.
وَأَمَّا وَصْفُ الْبَعْثِ بِالْآخِرِ فَقِيلَ هُوَ مُبَالَغَةٌ فِي الْبَيَانِ وَالْإِيضَاحِ وَذَلِكَ لِشِدَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهِ
Adapun menyifati kebangkitan dengan "akhir" (al-aakhir), dikatakan: itu sebagai penekanan dalam penjelasan, hal itu karena sangat pentingnya perkara tersebut.
وَقِيلَ سَبَبُهُ أَنَّ خُرُوجَ الْإِنْسَانِ إِلَى الدُّنْيَا بَعْثٌ مِنَ الْأَرْحَامِ وَخُرُوجَهُ مِنَ الْقَبْرِ لِلْحَشْرِ بَعْثٌ مِنَ الْأَرْضِ فَقَيَّدَ الْبَعْثَ بِالْآخِرِ لِيَتَمَيَّزَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dikatakan pula sebabnya adalah karena keluarnya manusia ke dunia adalah kebangkitan dari rahim, sedangkan keluarnya dari kubur untuk dikumpulkan adalah kebangkitan dari bumi, maka kebangkitan dibatasi dengan kata "al-aakhir" agar berbeda. Wallahu a'lam.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (الاسلام أن تعبد الله لا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ إِلَى آخِرِهِ)
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan engkau mendirikan shalat... hingga akhir hadis."
أَمَّا الْعِبَادَةُ فَهِيَ الطَّاعَةُ مَعَ خُضُوعٍ
Adapun ibadah, ia adalah ketaatan yang disertai ketundukan.
فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالْعِبَادَةِ هُنَا مَعْرِفَةُ اللَّهِ تعالى والاقرار بوحدانيته
Maka dimungkinkan yang dimaksud dengan ibadah di sini adalah mengenal Allah Ta'ala dan mengakui keesaan-Nya.
فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَطْفُ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ عَلَيْهَا لِإِدْخَالِهَا فِي الْإِسْلَامِ فَإِنَّهَا لَمْ تَكُنْ دَخَلَتْ فِي الْعِبَادَةِ
Berdasarkan ini, penyebutan shalat, puasa, dan zakat (sebagai athof/kata sambung) setelahnya bertujuan untuk memasukkannya ke dalam Islam, karena (jika ibadah bermakna ma'rifat saja) hal-hal tersebut belum masuk dalam makna ibadah.
وَعَلَى هَذَا إِنَّمَا اقْتَصَرَ عَلَى هَذِهِ الثَّلَاثِ لِكَوْنِهَا مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَأَظْهَرِ شَعَائِرِهِ وَالْبَاقِي مُلْحَقٌ بِهَا
Atas dasar ini, beliau hanya mencukupkan pada tiga hal ini karena ia termasuk rukun Islam dan syiarnya yang paling tampak, sedangkan yang lainnya diikutkan padanya.
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالْعِبَادَةِ الطَّاعَةُ مُطْلَقًا فَيَدْخُلُ جَمِيعُ وَظَائِفِ الْإِسْلَامِ فِيهَا
Dimungkinkan juga yang dimaksud dengan ibadah adalah ketaatan secara mutlak, sehingga seluruh kewajiban Islam masuk di dalamnya.
فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَطْفُ الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا مِنْ بَابِ ذِكْرِ الْخَاصِّ بَعْدَ الْعَامِّ تَنْبِيهًا عَلَى شَرَفِهِ وَمَزِيَّتِهِ
Berdasarkan ini, penyebutan shalat dan lainnya merupakan penyebutan yang khusus setelah yang umum, sebagai peringatan akan kemuliaan dan keutamaannya.
كَقَوْلِهِ تَعَالَى وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نوح وَنَظَائِرِهِ
Seperti firman Allah Ta'ala: "Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh..." (QS. Al-Ahzab: 7) dan semisalnya.
وَأَمَّا قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم لَا تُشْرِكُ بِهِ فَإِنَّمَا ذَكَرَهُ بَعْدَ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْكُفَّارَ كَانُوا يَعْبُدُونَهُ سبحانه وتعالى فِي الصُّورَةِ وَيَعْبُدُونَ مَعَهُ أَوْثَانًا يَزْعُمُونَ أَنَّهَا شُرَكَاءُ فَنَفَى هَذَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Adapun sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "tidak menyekutukan-Nya", beliau menyebutkannya setelah ibadah karena orang-orang kafir menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala secara formalitas namun mereka juga menyembah berhala bersama-Nya yang mereka klaim sebagai sekutu, maka beliau menafikan hal ini. Wallahu a'lam.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ)
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Dan mendirikan shalat yang wajib, menunaikan zakat yang difardhukan, dan berpuasa Ramadan."
أَمَّا تَقْيِيدُ الصَّلَاةِ بِالْمَكْتُوبَةِ فَلِقَوْلِهِ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
Adapun pembatasan shalat dengan "yang wajib (al-maktuubah)", itu merujuk pada firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman" (QS. An-Nisa: 103).
وَقَدْ جَاءَ فِي أَحَادِيثَ وَصْفُهَا بِالْمَكْتُوبَةِ كَقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
Telah datang dalam hadis-hadis penyifatan shalat dengan "al-maktuubah", seperti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Jika shalat telah ditegakkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib."
وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ وَخَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ
Dan "Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam", dan "Lima shalat yang Allah wajibkan".
وَأَمَّا تَقْيِيدُ الزَّكَاةِ بِالْمَفْرُوضَةِ وَهِيَ الْمُقَدَّرَةُ فَقِيلَ احْتِرَازٌ مِنَ الزَّكَاةِ الْمُعَجَّلَةِ قَبْلَ الْحَوْلِ فَإِنَّهَا زَكَاةٌ وَلَيْسَتْ مَفْرُوضَةً
Adapun pembatasan zakat dengan "yang difardhukan" -yakni yang ditentukan kadarnya-, dikatakan: itu untuk mengecualikan zakat yang disegerakan sebelum haul (satu tahun), karena itu adalah zakat tetapi bukan kewajiban (saat itu).
وَقِيلَ إِنَّمَا فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فِي التَّقْيِيدِ لِكَرَاهَةِ تَكْرِيرِ اللَّفْظِ الْوَاحِدِ
Dikatakan pula: Beliau membedakan antara shalat dan zakat dalam pembatasannya karena tidak menyukai pengulangan satu lafal yang sama.
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ تَقْيِيدُ الزَّكَاةِ بِالْمَفْرُوضَةِ لِلِاحْتِرَازِ عَنْ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ فَإِنَّهَا زَكَاةٌ لُغَوِيَّةٌ
Dimungkinkan juga pembatasan zakat dengan "yang difardhukan" adalah untuk mengecualikan sedekah sunnah, karena ia disebut zakat secara bahasa.
وَأَمَّا مَعْنَى إِقَامَةِ الصَّلَاةِ فَقِيلَ فِيهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ إِدَامَتُهَا وَالْمُحَافَظَةُ عَلَيْهَا وَالثَّانِي إِتْمَامُهَا عَلَى وَجْهِهَا
Adapun makna mendirikan shalat, dikatakan ada dua pendapat: pertama, melanggengkan dan menjaganya; kedua, menyempurnakannya sesuai aturannya.
قَالَ أَبُو عَلِيٍّ الْفَارِسِيُّ وَالْأَوَّلُ أَشْبَهُ
Abu Ali Al-Farisi berkata: Pendapat pertama lebih mirip (tepat).
قُلْتُ وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال اعْتَدِلُوا فِي الصُّفُوفِ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ مَعْنَاهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ مِنْ إِقَامَتِهَا الْمَأْمُورِ بِهَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا يُرَجِّحُ الْقَوْلَ الثَّانِيَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Saya (An-Nawawi) berkata: Telah tetap dalam Shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Luruskanlah saf, karena meluruskan saf termasuk mendirikan shalat." Maknanya -Wallahu a'lam- termasuk dari mendirikannya yang diperintahkan dalam firman Allah Ta'ala "Dan dirikanlah shalat", dan ini menguatkan pendapat kedua. Wallahu a'lam.
وَأَمَّا قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم وَتَصُومَ رَمَضَانَ فَفِيهِ حُجَّةٌ لِمَذْهَبِ الْجَمَاهِيرِ وَهُوَ الْمُخْتَارُ الصَّوَابُ أَنَّهُ لَا كَرَاهَةَ فِي قَوْلِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ تَقْيِيدٍ بِالشَّهْرِ خِلَافًا لِمَنْ كَرِهَهُ
Adapun sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam "dan berpuasa Ramadan", di dalamnya terdapat hujah bagi madzhab jumhur -dan itu pendapat terpilih yang benar- bahwa tidak makruh mengucapkan "Ramadan" tanpa membatasinya dengan kata "bulan", berbeda dengan yang memakruhkannya.
وَسَتَأْتِي الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ الصِّيَامِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مُوَضَّحَةً بِدَلَائِلِهَا وَشَوَاهِدِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Masalah ini akan datang pembahasannya dalam Kitab Puasa insya Allah Ta'ala, dijelaskan dengan dalil-dalil dan bukti-buktinya. Wallahu a'lam.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (سَأُحَدِّثُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا) هِيَ بِفَتْحِ الْهَمْزَةِ وَاحِدُهَا شَرَطٌ بِفَتْحِ الشِّينِ وَالرَّاءِ
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Aku akan menceritakan kepadamu tentang tanda-tandanya (asyrathiha)." Kata asyrath dengan memfathah hamzah, bentuk tunggalnya adalah syarath dengan memfathah syin dan ra'.
وَالْأَشْرَاطُ الْعَلَامَاتُ وَقِيلَ مُقَدِّمَاتُهَا وَقِيلَ صِغَارُ أُمُورِهَا قَبْلَ تَمَامِهَا وَكُلُّهُ مُتَقَارِبٌ
Al-Asyrath artinya tanda-tanda; dikatakan juga pendahuluannya; dikatakan juga hal-hal kecilnya sebelum terjadinya, dan semuanya berdekatan maknanya.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (وَإِذَا تَطَاوَلَ رِعَاءُ الْبَهْمِ) هُوَ بِفَتْحِ الْبَاءِ وَإِسْكَانِ الْهَاءِ
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Dan apabila para penggembala al-bahm berlomba meninggikan bangunan." Kata al-bahm dengan memfathah ba' dan mensukun ha'.
وَهِيَ الصِّغَارُ مِنْ أَوْلَادِ الْغَنَمِ الضَّأْنِ وَالْمَعْزِ جَمِيعًا وَقِيلَ أَوْلَادُ الضَّأْنِ خَاصَّةً وَاقْتَصَرَ عَلَيْهِ الْجَوْهَرِيُّ فِي صِحَاحِهِ
Ia adalah anak-anak kecil kambing, baik domba maupun kambing kacang semuanya; dikatakan juga khusus anak domba, dan Al-Jauhari membatasi makna ini dalam Shihah-nya.
وَالْوَاحِدَةُ بَهْمَةٌ قَالَ الْجَوْهَرِيُّ وَهِيَ تَقَعُ عَلَى الْمُذَكَّرِ وَالْمُؤَنَّثِ
Bentuk tunggalnya adalah bahmah. Al-Jauhari berkata: Kata itu berlaku untuk jantan dan betina.
وَالسِّخَالُ أَوْلَادُ الْمِعْزَى قَالَ فَإِذَا جَمَعْتَ بَيْنَهُمَا قُلْتَ بِهَامٌ وَبَهْمٌ أَيْضًا
As-Sikhal adalah anak kambing kacang. Ia berkata: Jika engkau menggabungkan keduanya, engkau katakan biham dan juga bahm.
وَقِيلَ إِنَّ الْبَهْمَ يَخْتَصُّ بِأَوْلَادِ الْمَعْزِ وَإِلَيْهِ أَشَارَ الْقَاضِي عِيَاضٌ بِقَوْلِهِ وَقَدْ يَخْتَصُّ بِالْمَعْزِ
Dikatakan pula bahwa al-bahm khusus untuk anak kambing kacang, dan Qadhi Iyadh mengisyaratkan hal ini dengan ucapannya "dan terkadang dikhususkan untuk kambing kacang".
وَأَصْلُهُ كُلُّ مَا اسْتَبْهَمَ عَنِ الْكَلَامِ وَمِنْهُ الْبَهِيمَةُ
Asal katanya adalah segala sesuatu yang tidak bisa berbicara, dan darinya kata bahimah (binatang ternak).
وَوَقَعَ فِي رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ رِعَاءُ الْإِبِلِ الْبُهْمُ بِضَمِّ الْبَاءِ
Dalam riwayat Bukhari terdapat lafal "penggembala unta yang al-buhm (hitam/tak dikenal)" dengan mendhammah ba'.
وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رحمه الله وَرَوَاهُ بَعْضُهُمْ بِفَتْحِهَا وَلَا وَجْهَ لَهُ مَعَ ذِكْرِ الْإِبِلِ
Qadhi Iyadh rahimahullah berkata: Sebagian meriwayatkannya dengan memfathah ba', dan itu tidak tepat jika disebutkan bersama unta.
قَالَ وَرُوِّينَاهُ بِرَفْعِ الْمِيمِ وَجَرِّهَا فَمَنْ رَفَعَ جَعَلَهُ صفة للرعاء أى انهم سود وقيل لاشىء لهم
Ia berkata: Kami meriwayatkannya dengan me-rafa'-kan mim dan men-jar-kannya; barangsiapa yang me-rafa'-kan, ia menjadikannya sifat bagi para penggembala, artinya mereka berkulit hitam, atau dikatakan mereka tidak punya apa-apa.
وقال الْخَطَّابِيُّ هُوَ جَمْعُ بَهِيمٍ وَهُوَ الْمَجْهُولُ الَّذِي لَا يُعْرَفُ وَمِنْهُ أَبْهَمَ الْأَمْرَ
Al-Khaththabi berkata: Ia adalah bentuk jamak dari bahim, yaitu orang tak dikenal yang tidak diketahui, dan darinya ungkapan "abhamal amra" (menyamarkan urusan).
وَمَنْ جَرَّ الْمِيمَ جَعَلَهُ صِفَةً لِلْإِبِلِ أَيِ السُّودِ لِرَدَاءَتِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Barangsiapa men-jar-kan mim, ia menjadikannya sifat bagi unta, yaitu yang hitam karena buruknya (kondisi unta tersebut). Wallahu a'lam.
قَوْلُهُ (يَعْنِي السَّرَارِيَّ) هُوَ بِتَشْدِيدِ الْيَاءِ وَيَجُوزُ تَخْفِيفُهَا لُغَتَانِ مَعْرُوفَتَانِ الْوَاحِدَةُ سُرِّيَّةٌ بالتشديد لا غير
Ucapan beliau: "Yakni as-sarari" (para selir), dibaca dengan mentasydid ya' dan boleh juga meringankannya, dua dialek yang dikenal. Bentuk tunggalnya surriyyah dengan tasydid, tidak ada cara lain.
قال بن السِّكِّيتِ فِي إِصْلَاحِ الْمَنْطِقِ كُلُّ مَا كَانَ وَاحِدُهُ مُشَدَّدًا مِنْ هَذَا النَّوْعِ جَازَ فِي جَمْعِهِ التَّشْدِيدُ وَالتَّخْفِيفُ
Ibnu As-Sikkit berkata dalam Ishlah Al-Manthiq: Setiap kata yang bentuk tunggalnya bertasydid dari jenis ini, boleh dalam bentuk jamaknya ditasydid atau diringankan.
وَالسُّرِّيَّةُ الْجَارِيَةُ الْمُتَّخَذَةُ لِلْوَطْءِ مَأْخُوذَةٌ مِنَ السِّرِّ وَهُوَ النِّكَاحُ
As-Surriyyah adalah hamba sahaya wanita yang diambil untuk disetubuhi, diambil dari kata as-sirr yaitu nikah (hubungan badan).
قَالَ الْأَزْهَرِيُّ السُّرِّيَّةُ فُعْلِيَّةٌ مِنَ السِّرِّ وَهُوَ النِّكَاحُ
Al-Azhari berkata: As-Surriyyah berwazan fu'liyyah dari kata as-sirr yaitu nikah.
قَالَ وَكَانَ أَبُو الْهَيْثَمِ يَقُولُ السُّرُّ السُّرُورُ فَقِيلَ لَهَا سُرِّيَّةُ لِأَنَّهَا سُرُورُ مَالِكِهَا
Ia berkata: Abu Al-Haitsam biasa mengatakan as-surr adalah as-surur (kebahagiaan), maka ia disebut surriyyah karena ia adalah kebahagiaan bagi pemiliknya.
قَالَ الْأَزْهَرِيُّ وَهَذَا الْقَوْلُ أَحْسَنُ وَالْأَوَّلُ أَكْثَرُ
Al-Azhari berkata: Pendapat ini lebih bagus, sedangkan pendapat pertama lebih banyak (dipakai).
قَوْلُهُ (عَنْ عمارة وهو بن الْقَعْقَاعِ) فَعُمَارَةُ بِالضَّمِّ وَالْقَعْقَاعُ بِفَتْحِ الْقَافِ الْأُولَى
Ucapan beliau: "Dari Umarah, dia adalah Ibnu Al-Qa'qa'"; Umarah dengan dhammah, dan Al-Qa'qa' dengan memfathah qaf pertama.
وقوله وهو بن قَدْ قَدَّمْنَا بَيَانَ فَائِدَتِهِ فِي الْفُصُولِ وَفِي الْمُقَدِّمَةِ
Ucapan beliau "dan dia adalah anak...", telah kami jelaskan faedahnya pada pasal-pasal terdahulu dan di mukadimah.
وَأَنَّهُ لَمْ يَقَعْ فِي الرِّوَايَةِ نَسَبُهُ فأراد بَيَانَهُ بِحَيْثُ لَا يَزِيدُ فِي الرِّوَايَةِ عَلَى مَا سَمِعَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Bahwa nasabnya tidak disebutkan dalam riwayat, maka beliau ingin menjelaskannya tanpa menambah dalam riwayat melebihi apa yang beliau dengar. Wallahu a'lam.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (سَلُونِي) هَذَا لَيْسَ بِمُخَالِفٍ لِلنَّهْيِ عَنْ سُؤَالِهِ
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Bertanyalah kepadaku," ini tidak bertentangan dengan larangan untuk bertanya kepada beliau.
فَإِنَّ هَذَا الْمَأْمُورَ بِهِ هُوَ فِيمَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تعالى فاسألوا أهل الذكر
Karena yang diperintahkan ini adalah dalam hal-hal yang dibutuhkan, dan ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala "Maka bertanyalah kepada ahli dzikir".
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (وَإِذَا رَأَيْتَ الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الصُّمَّ الْبُكْمَ مُلُوكَ الْأَرْضِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا)
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Dan apabila engkau melihat orang-orang tidak beralas kaki, telanjang, tuli, bisu menjadi raja-raja bumi, maka itu termasuk tanda-tandanya."
الْمُرَادُ بِهِمُ الْجَهَلَةُ السَّفِلَةُ الرِّعَاعُ كَمَا قَالَ سبحانه وتعالى صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ أَيْ لَمَّا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِجَوَارِحِهِمْ هَذِهِ فَكَأَنَّهُمْ عَدِمُوهَا
Yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang bodoh, kalangan rendahan, dan rakyat jelata, sebagaimana firman Allah Ta'ala "Tuli, bisu, buta", artinya ketika mereka tidak memanfaatkan anggota tubuh mereka ini, seakan-akan mereka tidak memilikinya.
هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ فِي مَعْنَى الْحَدِيثِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Inilah yang benar dalam memaknai hadis tersebut. Wallahu a'lam.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (هَذَا جِبْرِيلُ أَرَادَ أَنْ تَعَلَّمُوا إِذْ لَمْ تَسْأَلُوا) ضَبَطْنَاهُ عَلَى وَجْهَيْنِ
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ini adalah Jibril, ia ingin agar kalian belajar ketika kalian tidak bertanya." Kami men-dhabit (membaca tepat)-nya dengan dua cara.
أَحَدُهُمَا تَعَلَّمُوا بِفَتْحِ التَّاءِ وَالْعَيْنِ وَتَشْدِيدِ اللَّامِ أَيْ تَتَعَلَّمُوا
Salah satunya "ta'allamu" dengan memfathah ta' dan 'ain serta mentasydid lam, artinya kalian belajar (tata'allamu).
وَالثَّانِي تَعْلَمُوا بِإِسْكَانِ الْْعَيْنِ وَهُمَا صَحِيحَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan yang kedua "ta'lamu" dengan mensukun 'ain (artinya kalian mengetahui), dan keduanya benar. Wallahu a'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab Pengetahuan tentang Iman, Islam, Takdir, dan Tanda-tanda Kiamat

Bab: Apa itu Islam dan Penjelasan Sifat-sifatnya.

Penjelasan Iman, Islam, dan Ihsan #1